“Semua mengeluhkan tentang perekonomian dalam negeri yang cukup berat, meski Mas Jokowi telah terpilih,” tulis Hanibal.
Dalam diskusi itu dibahas mulai dari soal masuknya investasi besar-besaran para pengusaha dan BUMN Cina ke Indonesia. Padahal, menurut analis ekonomi, kita belum tahu kemampuan perusahaan-perusahaan itu.
“Sementara partner dalam negeri yang mereka pilih ora mitayani,” kata Hanibal.(Ora mitayani adalah bahasa Jawa yang artinya ‘tidak meyakinkan’ )
Hanibal pun menyatakan, dirinya menimpali dengan informasi bahwa orang yang mengatur dan menjadi penghubung dalam kunjungan Presiden Jokowi ke Cina dan Korea ternyata bukan pejabat Cina atau Duta Besar RI di negara-negara itu, tapi justru anak taipan Indonesia.
“Ada apa kira-kira, ya?” tanya Hanibal.
Hanibal berkisah juga soal perolehan pajak yang terus merosot. Target pajak 2014 yang awalnya Rp 1.110 triliun sudah diturunkan menjadi sebesar Rp 1.072,38 triliun, diperkirakan hanya akan terealisasi pada angka Rp 990,37 triliun atau hanya 92,4%. Dengan demkian, shortfall (tidak tercapai) sebesar Rp 82,01 triliun.
Saat ini, APBN terus mengalami defisit yg berkepanjangan. Padahal, pajak adalah sumber utama Indonesia untuk membangun dan membiayai kelangsungan negara. Tambahan pula, tax ratio kita masih kurang dari 12%. Jika tidak digenjot dengan berbagai upaya, dengan target perolehan pajak tahun 2015 sebesar Rp 1.194 triliun dipatikan bakal lebih berat lagi.
“Kawan ekonom cerita tentang rupiah kita yang loyo, jam 9 pagi tadi sempat menyentuh Rp 12.945 per dolar AS. Ini pelemahan terdalam sejak Agustus 1998. Pemerintah dan BI harus berusaha keras, jangan sampai tembus Rp 13.000 per dolar. Sebab, begitu tembus Rp 13.000, akan semakin gampang jatuh ke Rp 14.000 atau bahkan Rp 15.000.
Penyebab lemahnya rupiah antara lain karena penguatan dolar akibat kenaikan suku bunga The Fed, kenaikan tingkat ekonomi AS, defisit transaksi berjalan RI yang masih tinggi, meningkatnya permintaan dolar di akhir tahun untuk bayar utang luar negeri dan impor, dan terakhir investor asing telah menarik dananya sebesar Rp 10.09 triliun atau US$ 795 juta dari soverign bond sejak 11 Des 2014,” tulis Hanibal.
Hanibal lalu bercerita tentang komentar seorang pengamat politik yang pada pemilu lalu menjadi salah satu kepercayaan Jokowi.
“Kepada saya, sang pengamat politik itu bercerita panjang lebar tentang iklim dan suhu politik di Istana serta hubungannya dengan tokoh-tokoh kunci politik. ‘Situasi memang dilematis. Tapi, kalau kondisi terus seperti ini dan tidak ada langkah strategis yang dilakukan Jokowi dan kabinetnya, bisa jadi dalam 9 bulan ke depan Jokowi bisa jatuh,’ ujarnya,” tulis Hanibal lagi.
Sosok Jokowi yang konon mendapat puja-puji internasional itu ternyata tak cukup dipercaya oleh investor asing. Kondisi politik di yang tak kunjung stabil di bawah kepemimpinan Jokowi dan harga minyak yang menurun drastis membuat sejumlah Kontraktor Kontrak Kerja Sama menarik dana mereka. Tercatat, sejak 11 Desember 2014 lalu, telah terjadi penarikan dana besar-besaran dari investor sebesar Rp 10,09 triliun atau US$ 795 dari berbagai sektor. [*]
0 Response to "Tak Percaya Pada Jokowi, Investor Tarik Dana Dari Indonesia"
Post a Comment