[Membangun Tanpa Menggusur] Dusta Vs Fakta Jokowi


“Membangun tanpa menggusur”. Demikian jargon Jokowi yang juga diusung oleh Andrinof Chaniago, ketua Bappenas saat kemarin, Senin, 22 Desember 2014, mengumumkan bahwa pemerintah siap mengucurkan dana ratusan triliun untuk menghapuskan permukiman kumuh.

Janji Jokowi untuk membangun tanpa menggusur, sudah terdengar sejak ia masih berada di Solo dan menjabat sebagai walikota Solo. Ada banyak titik permukiman kumuh dan lapak PKL yang oleh Jokowi dianggap merusak pemandangan kota. Jokowi pun berinisiatif memindahkan mereka ke lokasi baru.

Warga yang memperoleh uang ganti rugi tentu senang. Namun kegembiraan itu tak berlangsung lama, karena di lokasi tersebut kemudian dibangun pusat bisnis, hotel, dan pusat rekreasi. Warga pun gigit jari karena tempat-tempat itu tak terjangkau oleh kocek mereka.

Setelah pindah ke Jakarta, Jokowi masih dengan bangga menepuk dada dan mengatakan ia mampu membangun tanpa menggusur. Jokowi lupa, warga Jakarta yang multi etnis memiliki karakter yang jauh berbeda dari warga Solo. Selain itu, tingkat pendidikan warga Jakarta pun lebih tinggi ketimbang warga di permukiman  kumuh Solo yang beberapa bahkan masih tuna aksara.

Warga Jakarta tak mudah dibujuk. Akhirnya, Jokowi pun ‘terpaksa’ menggunakan kekerasan dalam proses membangun. Jargon “membangun tanpa menggusur” pun hancur sudah.

Tentu masih lekat dalam ingatan bagaimana proses relokasi warga dari sekitar waduk Pluit, Waduk Ria Rio, dan masih banyak daerah lain. Tak hanya kekerasan, pelanggaran HAM pun kerap terjadi. Seperti kisah di Solo, di Jakarta pun, setelah permukiman kumuh digusur dan dihilangkan, muncul pusat bisnis, hotel dan permukiman mewah.

Dalam dalam diskusi 'Catatan Akhir Tahun Fakta' di Cikini, Jakarta Pusat, Ahad, 21 Desember 2014, Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) Azas Tigor Nainggolan memaparkan fakta mencengangkan yang berkebalikan 180 derajat dari jargon “Membangun tanpa menggusur” tersebut.

Tigor menjelaskan, sepanjang 2014 ini ada 26 atau 3.513 bangunan dan 3.751 keluarga serta 13.952 jiwa kehilangan tempat tinggal kena gusur Pemprov DKI Jakarta. Kemudian, 17 lokasi PKL dan sekitar 2.149 pedagang kehilangan tempat usahanya.

Catatan ini menunjukkan, jargon “membangun tanpa menggusur” adalah bohong belaka karena tak sesuai dengan kenyataan yang selama ini dialami warga. (fs)

0 Response to "[Membangun Tanpa Menggusur] Dusta Vs Fakta Jokowi"

Post a Comment