Film “The Look of Silence” atau “Senyap” disutradarai Joshua Oppenheimer yang mengangkat kisah seputar kejadian tahun 1965 , kini sedang diputar di berbagai daerah.
Banyak yang keberatan dengan film ini karena hanya menampilkan sisi Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai korban, seolah perlakuan biadab terhadap anggota dan simpatisan PKI terjadi begitu saja tanpa sebab atau aksi yang dilakukan PKI sebelumnya.
Film ini juga tak menampilkan bagaimana PKI melakukan kekejaman terhadap lawan-lawan politiknya atau orang yang tidak mendukung mereka.
Salah seorang yang keberatan adalah Chairuman dari Jakarta Care. Walaupun ini memang sebuah karya seni, film, yang tidak punya kewajiban untuk menyeimbangkan isinya, katanya, banyak yang khawatir pemutaran Senyap secara gencar di berbagai daerah adalah upaya “memaksakan” versi sejarah menurut orang-orang yang punya kekuatan modal, baik modal finansial, modal sosial, maupun modal politik.
“Jadi, kami khawatir, generasi muda yang kurang pemahamaman sejarahnya akan menganggap PKI semata-mata sebagai korban dari kebrutalan lawan politiknya. Padahal kan sejarahnya tidak seperti itu. Ada aksi pasti ada reaksi, kan?”, ujar Chairuman dalam rilisnya Selasa 23 Desember 2014.
Chairuman menambahkan, bila dicermati, publik Indonesia memang bisa sangat sadis bila dipancing atau dianaya terlebih dulu.
“Makanya dalam khazanah budaya kita ada istilah dendam kesumat, tumpas kelor, amuk, dan sejenisnya. Ini bahkan masih terjadi sampai sekarang. Kenapa kita menutup mata terhadap kenyataan ini? Orang Indonesia itu ramah dan baik bila mendapat perlakuan yang baik, tapi bisa sangat brutal bila dizalimi. Pada tingkat akar rumput bahkan ada ungkapan ‘Anda sopan, kami segan. Anda tak beradab, kami jadi ikut biadab’,” imbuh Chairuman.
“Saya ingat, Bapak yang ketika itu masih bertugas di Volksraad (Dewan Rakyat, DPR/DRPD sekarang), bilang, ‘Hati-hati, PKI akan bikin ulah’. Saya baru paham setelah 1 Oktober 1965, rumah tetangga kami (keluarga Aidit) diinapi oleh adiknya dari Jakarta yang datang dalam keadaan panik,” kisah Yanto, warga Depok, Sleman, Yogyakarta.
Kakek dua cucu ini mengatakan, terlepas dari campur tangan asing pada saat itu, sejarah mencatat, PKI telah membuat suasana mencekam.
“Ya PKI dan PNI itu kerap membuat suasana tidak nyaman. Kaya sekarang lah.. ada kan partai yang konvoi dan bikin onar. Gak mau kalah. Tersinggung dikit, bawa-bawa people power,” ujar Yanto kepada Piyungan Online melalui pesan singkat, hari ini Rabu, 24 Desember 2014.
Yanto yang mengaku sudah menonton film tersebut menyayangkan adanya sudut pandang yang hilang, yakni sudut pandang dari korban provokasi PKI.
"Sayang, film itu tidak berani objektif dan memandang dari dua angle. Sisi rakyat yang dianiaya PKI, tak muncul di sini" tegasnya.
Meski mengaku belum menonton film tersebut, Aksi pembubaran paksa oleh sejumlah orang terhadap acara pemutaran film Senyap atau The Look of Silence karya Joshua Oppenheimer di beberapa daerah disesalkan oleh KH Sholahudin Wahid atau Gus Sholah.
“Untuk itu, sebelum membubarkan, lebih baik kita menonton terlebih dulu sehingga memahami isi dari film tersebut,” ujarnya, Selasa 23 Desember 2014 di Tulungagung. (fs)
0 Response to "Film "Senyap", Sisi Pandang yang Hilang"
Post a Comment