Pakar Hukum: Kalau Tak Mau Dibully, Lebih Baik Jadi Tukang Gorengan
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Khairul Huda berharap Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut gugatan terhadap seorang buruh tusuk sate, karena membullying Jokowi di sosial media facebook saat kampanye di akun miliknya dalam pilpres lalu.
Apapun yang dilakukan buruh tusuk sate itu menurut Khairul, adalah bagian dari demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat dan bukan serangan pribadi.
"Saya berharap Jokowi mencabut gugatan tersebut karena apa yang disampaikan masyarakat pada saat hingar-bingar kampanye pada pilpres kemarin adalah bagian dari proses demokratisasi dan partisipasi masyarakat untuk menyuarakan keyakinannya mendapatkan pemimpin terbaik," kata Khairul kepada wartawan di Jakarta, Rabu (29/10), dilansir JPPN.
Selain itu, Khairul juga minta masyarakat tidak serta-merta menyalahkan pihak kepolisian yang langsung menangkap sang pem “bully”, karena pihak kepolisian hanya menjalankan tugasnya. Dia jelaskan, berdasarkan pasal 72 KUHP dimana hanya yang dirugikan yang bisa memberikan pengaduan, maka dia yakin Jokowi yang melaporkan hal ini secara pribadi.
"Ini delik aduan dan pihak kepolisian hanya menjalankan tugas atas laporan masyarakat. Yang mengadukan itu kalau deliknya pencemaran nama baik, hanya bisa dilakukan oleh yang dirugikan. Itu menurut pasal 72 KUHP. Jadi yang bisa melaporkan hal ini adalah Jokowi dan pihak kepolisian hanya menjalankan laporan Jokowi. Kecuali kalau Jokowi belum cukup umur maka laporan bisa diwakilkan," jelasnya.
Menurut Khairul, apapun yang diposting bersangkutan harus dilihat dalam konteks membangun suasana demokrasi ketika setiap orang bisa menyampaikan pendapatnya dan pikirannya dan harus diterima sebagi sebuah kenyataan. Karena itu ujar Khairul, sikap Jokowi yang melaporkan sang buruh tusuk sate adalah tidak pada tempatnya karena direspon dengan sebuah proses hukum.
"Memang tidak salah, tetapi alangkah lebih bijaksananya, kalau apa yang dilakukan itu adalah bagian dari pesta demokrasi. Kalau seseorang tidak mau di bully sebagai capres, maka lebih baik orang tersebut jadi tukang gorengan saja," sarannya.
Apalagi si tukang tusuk sate itu tidak punya kepentingan pribadi terhadap Jokowi. Si tukang tusuk sate bukanlah saingan Jokowi dalam pilpres dan bukan juga bagian dari tim kampanye capres. Apa yang dipostingnya seharusnya dilihat sebagai kerangka demokrasi untuk mendapatkan pemimpin menurut keyakinan dia yang terbaik.
"Kalau Prabowo yang menyatakan, boleh lah dia menuntut. Tapi itu pun harus dilihat sebagai sebuah langkah politik bukan satu hal yang menyangkut pribadi. Prabowo juga bisa menuntut kepada pendukung Jokowi yang menuduh dia pelanggar HAM. Dia hanya berusaha untuk berpatisiapsi dalam rangka memenangkan calonnya dan dalam rangka memberikan informasi siapa calon presidennya," tegasnya.
Jika Jokowi terus memaksakan agar kepolisian memproses kasus ini, maka menurutnya ini akan menjadi sebuah langkah mundur dari suasana demokrasi yang berhasil dinikmati rakyat Indonesia selama ini pasca tumbangnya rezim orde baru. “Walaupun itu menyinggung pribadi pada Jokowi, tapi toh tidak ada nilainya ketika dia jadi presiden. Sebenarnya tidak elegan-lah kalau perkara diteruskan,” pungkasnya. (fas/jpnn)
0 Response to "Pakar Hukum: Kalau Tak Mau Dibully, Lebih Baik Jadi Tukang Gorengan"
Post a Comment