Pengalaman Menjadi Dai di Papua



MALAM itu, beberapa warga berkumpul di dalam sebuah rumah untuk melaksanakan acara pengajian. Acara ditempatkan di sebuah kampung nan sepi.

Di tengah-tengah kerumunan warga tampak tiga pemuda yang antusias mengikuti acara. Selang beberapa menit setelah acara selesai, salah satu pemuda ditunjuk warga untuk memimpin acara. Namun sang pemuda, sebut saja Muhyidin langsung terkejut saat melihat seorang wanita separuh baya ikut acara pengajian dan tahlilan tanpa mengenakan jilbab dan kerudung dan jamaah lelaki menggunakan baju dengan celana pendek saja.

Pemandangan itu dirasa Muhyidin sangat bertolak belakang seperti tradisi yang ada di kampung halamannya, Desa Karang Tengah, Demak, Propinsi Semarang, Jawa Tengah.

Dalam acara pengajian atau tahlilan di tempat asalnya, seorang lelaki biasanya mengenakan baju gamis dengan pasangan celana panjang atau minimal sarung. Sedangkan untuk wanita mengenakan jilbab dan kerudung.

Perbedaan itulah yang akhirnya mengundang tanya dalam diri Muhyidin, salah satu dari tiga mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Wali Songo Semarang yang tengah melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Mandiri di kampung Pattipi Pasir, Distrik Teluk Pattipi, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat.

“Pak, mamah (baca: panggilan ibu di kampung Patipi Pasir) itu kok tidak memakai jilbab dan kerudung. Bapak itu juga kenapa pakai celana pendek?” kata Muhyidin.

Setelah mendapatkan penjelasan dari jamaah, ia baru mengerti kenapa fenomena itu biasa terjadi. Muhyidin baru paham rupanya di Kampung Pattipi Pasir ada sebuah budaya yang telah lama berjalan dan betul-betul dilestarikan oleh masyarakatnya. Di mana masyarakat menyebutnya dengan budaya “Satu Tungku Tiga Batu”.

Tungku adalah lambang kebersamaan. Sementara ‘Tiga Batu’ adalah simbol dari tiga agama besar yang ada di daerah itu — Kristen, Katolik dan Islam—di mana mereka meyakini, kehidupan akan keseimbangan dan stabil. Inilah simbul kerukunan beragama di Fakfak.

Kerukunan tiga pemeluk agama ini begitu akrab. Toleransi agama bahkan terlihat dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk terlihat dalam perayaan hari besar keagamaan antara satu pemeluk agama dengan agama lainnya saling diundang. Hanya saja, Mayoritas Muslim.

Menurut Muhyidin, usaha menjaga keharmonisan dan hubungan sosial pemeluk tiga agama ini cukup baik, hanya saja niat menjaga kerukunan tersebut sudah masuk dalam urusan ibadah.

Menurutnya, masyarakat Papua yang mayoritas Muslim nampanya banyak yang belum memahami dan menjalankan Islam secara benar.

“Fenomena itu terjadi tidak hanya dalam acara umat Islam, bahkan ketika umat Nasrani (baca: Protestan dan Khatolik) mengadakan acara Natalan, sebagian umat Islam harus ada perwakilan untuk menghadiri acara mereka,” ujar Muhyidin.

Berangkat dari fenomena tersebut, Muhyidin bersama kelima temannya mencoba membenahi pemahaman budaya yang belum sesuai dengan syari’at Islam. Maklum, para da’i yang ada di wilayah itu jumlahnya masih sangat minim sekali. Jikapun ada bisa dihitung dengan jari.

Akhirnya meski mengaku terbatas ilmua, terpaksa ia menjalani dakwah dan menyampaikan kepada masyarakat apa yang pernah ia dapat selama kuliah di Fakultas Dakwah dan Komunikasi.

“Alhamdulillah, kita pernah mendapatkan mata kuliah ‘rekonstruksi konflik’ jadi saat itu kita langsung praktikan,” ujar Ketua KKN Mandiri di Papua dari IAIN Wali Songo Semarang untuk angkatan perdana ini.

Karena terkendala oleh singkatnya waktu KKN, dakwah yang mereka lakukan nampanya belum tuntas. Sebab, setelah KKN selesai, mereka masih belum mampu merubah pemahaman masyarakat yang keliru terkait urusan akidah dalam tradisi “Satu Tungku Tiga Batu”.

Sebab baginya, masih banyak percampuran tradisi dan ujungnya bisa merusak ibadah dan akidah.

“Secara subtansi tujuannya sudah benar yaitu untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama,” ujarnya.

Melihat fenomena ini, maka sejak itu Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Wali Songo Semarang mewacanakan akan mengirimkan kembali mahasiswanya sebanyak 30 orang pada pertengahan Desember 2014 mendatang.

Pihaknya akan kembali menjalin kerjasama dengan Al Fatih Kaffah Nusantara (AFKN) Bekasi, Jawa Barat di bawah koordinator Ustad Fadhlan Garamatan, seorang dai asli Papua.

Melihat minimnya para da’i di Papua, Muhyidin berharap lembaga-lembaga Islam yang memiliki atau bahkan mengkader anggotanya untuk menjadi seorang da’i, supaya siap menugaskan lebih banyak lagi para da’inya untuk mendakwahkan agama Islam secara kaffah khususnya di pedalaman-pedalaman.*

Rep: Achmad Fazeri

*sumber: Hidayatullah.com

0 Response to "Pengalaman Menjadi Dai di Papua"

Post a Comment