Merindu Pemimpin yang Berempati


Oleh Muktia Farid, ibu rumah tangga

Kemarin saya membaca kisah menarik, tentang Umar Bn Khattab yang ‘iri’ pada amal shaleh dari Abu Bakar. Hingga berlomba mencari peluang amal lain, yang barangkali belum dilakukan sahabatnya itu.

Saat ia temukan seorang perempuan jompo nan papa, ditawarkannya bantuan, bahwa sejak saat itu kebutuhan hidup ibu itu akan dia tanggung sepenuhnya. Tapi, ibu yang bersahaja itu menolak dengan halus, “Maaf, sudah ada orang lain yang menanggung kebutuhan hidup saya”. Umar sangat penasaran, siapa gerangan orang yang telah mendahuluinya? Ia berencana untuk mengamati beberapa hari. Hingga di suatu malam nan sepi, ia lihat bayangan seorang lelaki kurus yang terbungkuk-bungkuk memanggul karung gandum di punggungnya, datang menuju rumah ibu tua itu. Umar hafal betul perawakan dan cara berjalan lelaki itu. Dia… Abu Bakar! Lagi-lagi Abu Bakar telah mendahuluinya dalam beramal.

Kali lain, saya juga teringat kisah Umar saat menjadi khalifah. Demi ditemukannya keluarga miskin saat dia blusukan (tentu sambil menyamar, hanya ditemani seorang pengawal) dan ia saksikan keluarga itu hanya bisa merebus batu, Umar tergugu. Dia menjadi begitu takut akan tanggung jawabnya sebagai pemimpin.

Bersegera ia berbalik menuju gudang perbekalannya, mengambil dan memanggul sekarung besar gandum di punggungnya, lalu berjalan ke rumah keluarga yang miskin papa. Saat itu Umar sudah tidak muda lagi, jalannya terseok-seok membawa beban berat di punggungnya. Hingga salah seorang ajudannya tak tega, lalu mendesak Umar agar dia saja yang memanggul karung yang berat tersebut. Tapi jawab Umar, “Apakah engkau juga bersedia menanggung dosaku karena telah menelantarkan rakyatku?”

Ajudan itu langsung terdiam, dan hanya bisa mengikuti atasannya berjalan menuju rumah keluarga miskin itu. Menyaksikan sendiri dengan haru, saat Umar tak mau dibantu untuk memasakkkan gandum itu di periuk yang tadinya berisi batu, hingga menghidangkannya langsung pada ibu dan anak-anaknya itu. Andai saja sang ibu tahu, bahwa lelaki yang datang membawa karung dan memasakkan gandum itu adalah amirul mukminin, pemimpin umat Islam yang namanya pun sebenarnya dia tahu.

Lalu, ingatan saya meloncat ke pemberitaan di televisi, saat saya masih sekolah dulu. Waktu itu, saya terbingung-bingung, melihat warga korea menyumbangkan berbagai perhiasan emasnya ke negara, begitu pemerintahnya menyatakan bahwa negara sedang dilanda krisis ekonomi yang akut. Entah peristiwa itu tahun berapa, tapi masih terekam jelas dalam otak saya. Apa yang membuat warga berbondong-bondong datang pada pemerintah, dan rela melepaskan perhiasannya? Tentu karena pemimpinnya bisa dipercaya. Kharisma pemimpin begitu kuat, sehingga saat kondisi keuangan pemerintah melemah, rakyatnya siap mendukung bahu-membahu. Tanpa paksaan. Pemimpin yang mau mencontohkan tentang bagaimana harus memimpin dengan baik, sehingga dicintai rakyatnya. Pemimpin yang tak segan untuk meminta maaf pada rakyat, karena telah membawa mereka kepada kondisi kesulitan keuangan, hingga rakyatnya justru sigap mengulurkan bantuan.

Maka, saat hiruk-pikuk pasca kenaikan BBM di negeri ini, ada sesuatu yang saya catat. Bukan tentang mengapa harga BBM harus dinaikkan dan subsidinya dialihkan. Untuk hal yang satu itu tentu ada kebijakan dari para analis, yang semoga analisisnya memang benar-benar tepat. Saya tak hendak membahas itu, karena memang bukan level saya. Itu ibarat ‘nguyahi segara’ nanti (menggarami lautan-red) sehingga tulisan ini malah akan jadi bahan cibiran dan tertawaan.

Saya hanya seorang dari sekian ratus juta rakyat, yang seorang ibu rumah tangga biasa. Bukan tentang kebijakan naiknya BBM yang ingin saya kritisi, tapi tentang rasa empati, yang terwakili dalam pembahasaan keseharian. Apakah tabu, bagi pemimpin di negeri ini, untuk memulainya dengan meminta maaf pada rakyat saat akan menaikkan harga BBM? Karena otomatis meski dikatakan ‘hanya naik duaribu” tapi kami tak minum dan makan BBM. Sedang harga di luar BBM mendadak langsung meroket naik, utamanya barang kebutuhan pokok sehari-hari dan ongkos transport untuk anak-anak sekolah serta bapaknya bekerja. Harga mendadak meroket, karena seperti kata pak gubernur BI: setiap kenaikan BBM Rp 1000, itu akan mengerek inflasi sebesar 1,2%. Sebagai ibu rumah tangga yang diminta untuk mengelola keuangan, tentu menjadi lebih pusing ‘ngejembreng‘ uang yang menjadi amanahnya.

Sungguh, ini bukan tentang keyakinan soal rezeki, yang saya juga yakin telah Allah siapkan untuk semua makhlukNya. Jika kita tak mengimani hal ini, justru iman kita sangat diragukan. Namun, bahwa di setiap masa ada kaum yang miskin papa, di jaman Nabi pun sudah ada, bahkan banyak jumlahnya. Tak melulu hanya orang kaya yang berada di sekitarnya. Maka Nabi pun sebagai pemimpin mengajarkan, untuk selalu welas asih kepada kaum dhuafa. Bahkan beliau memilih hidup bersahaja, dan berdoa semoga nanti di akherat dibangkitkan bersama kaum papa ini. Bukan karena beliau tak mampu, tetapi karena beliau ingin mencontohkan bagaimana harus mengembangkan empati kepada sesama, sebagai seorang pemimpin. Contoh yang lalu begitu baik diduplikasi oleh penerusnya, Abu Bakar, Umar, hingga generasi jauh seseudahnya termasuk Umar bn Abdul Aziz.

Lalu, bagaimana kondisi negeri ini? Berapa persen penduduk yang memang oleh BPS dinyatakan prasejahtera? Bagaimana perasaan mereka jika ada ucapan, “beli rokok saja mampu, bbm naik dua ribu ribut melulu”. Atau dengan ucapan  seperti ini:


Wahai, pernahkah terbayangkan oleh yang berbicara seperti itu (juga yang menyebarkannya): untuk banyak penduduk di negeri ini, membeli beras pun mereka sering tak mampu. Berhari-hari mereka harus menahan lapar atau makan nasi aking. Tak terbayangkan oleh mereka uang 18 ribu hanya untuk membakar uang membeli rokok, karena untuk membeli beras itu sudah bisa membawa pulang beras kualitas rendah 2,5 liter! Dan itu cukuplah untuk 3 hari ke depan. Apalagi kopi yang secangkir 50 ribu, hanya membuat mereka melongo dan mengusap dada: Ada ya orang menghambur-hamburkan uang dengan cara begitu? Sedang buat kami itu bisa untuk beli beras 7 liter!

Sungguh, ucapan-ucapan semacam itu, sangat melukai hati banyak penduduk kurang beruntung di negeri ini. Andai mereka bisa apdet status, atau membuat meme yang bisa menceritakan kondisi mereka yang semakin sulit kini, tentu tak akan satu pun dari kita yang berani mengolok-olok dengan ucapan semacam itu. Mulut kita akan terbekap karena malu, karena di tengah kesulitan hidupnya, mereka tetap menjaga diri untuk tidak merampok atau mencuri, menjaga diri dari hal-hal yang akan menistakan dirinya sendiri.

Orang-orang miskin papa yang tak tahu apa itu dunia maya, juga apa itu selfie, maka lalu pantaskah ada ucapan, “Paling ribut juga seminggu saja, habis itu minta selfie sama saya”. Apakah tidak lebih baik, untuk mencari ucapan lain yang lebih menunjukkan empati? Atau langsung melakukan sesuatu yang menyejukkan hati rakyat, seperti Umar yang memanggul sendiri karung gandum di tengah malam blusukan dan penyamarannya? Tidak takutkah para pemimpin di negeri ini, jika banyak rakyat yang semakin terhimpit karena kebijakan ini, lalu berdoa meminta keadilan pada Sang Maha, karena mereka sebagai rakyat merasa teraniaya? Sedang doa dari orang-orang yang teraniaya tak pernah ada hijab pembatas, langsung didengar oleh-Nya. Bahkan Nabi pun mengajarkan sebuah doa indah:

    « اللَّهُمَّ مَن ْوَلِيَ مِنْ أَمْرِأُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِن أَمْرِأُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِم ْفَارْفُقْ بِهِ »

Ya Allah, siapa saja yg memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu ia memberatkan/menyusahkan mereka, maka beratkan/susahkan dia; dan siapa saja yg memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu ia memperlakukan mereka dengan baik, maka perlakukanlah dia dengan baik. (HR Ahmad dan Muslim)

Akhirat masih lama? Betul, masih lama jika patokan kita adalah “mumpung hidup di dunia, mari nikmati sepuasnya”. Tapi, sesungguhnya akhirat justru awal kehidupan yang sebenarnya, selama-lamanya, dengan dimensi waktu yang jauh berbeda dengan di dunia. Sedang pembalasan dan keadilan tetap berlaku bagi siapa saja, bagi kita, juga bagi para pemimpin yang tentu akan lebih panjang pertanggungjawabannya. Percaya atau tidak percaya dengan akhirat, dan apapun agamanya, balasan itu tetap ada!

Jadi, sekali lagi, bukan masalah esensi kebijakan bbm yang ingin saya lihat. Tapi, dimana rasa empati? Sedang untuk bisa berempati, tak harus kita mengalaminya sendiri. Jika Anda tak mengalami sendiri kesulitan hidup itu, paling tidak mari kita berempati, meski hanya sekedar basa-basi. Janganlah menambah luka di atas luka, dengan komentar yang menunjukkan kepongahan dan kelebihan harta. Sedang roda kehidupan terus berputar. Sangat bisa jadi, yang hari ini merasa kaya berkecukupan, besok menjadi orang melarat di pinggir jalan. Pun sebaliknya.

Mari, berempati, untuk kebaikan kita sendiri.

*sumber: http://muktiberbagi.wordpress.com/2014/11/24/merindu-pemimpin-yang-berempati/

0 Response to "Merindu Pemimpin yang Berempati"

Post a Comment