Nelayan di Desa Sukajaya Cilamaya Kulon - Foto : inilah.com |
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, ternyata membuat sejumlah nelayan merasa tercekik dan karenanya memilih berhutang agar tetap bisa melaut.
Dari pantauan tim Piyungan Online di beberapa kampung nelayan, sejak Rabu, 19 November 2014, para nelayan memilih tak melaut, atau terpaksa berhutang untuk bisa melaut.
Sarto, misalnya. Nelayan asal Kluwut Brebes ini mengatakan, hasil tangkapan ikan tak mampu menutupi biaya bahan bakar. Jika nombok, maka esok harinya Sarto tak dapat melaut lagi.
“Kadang nombok. Ya kalau dah nombok, besoknya di rumah.Gak ke laut. Di sini semuanya gitu. Atau ya ngutang sama bank plecit (lembaga keuangan non formal yang meminjamkan sejumlah uang dengan bunga tinggi),” ujar Sarto
Sarto mengatakan, jika tak melaut, para nelayan itu membetulkan kapal dan perlengkapan melaut mereka.
“Ya benerin kapal, jala. Daripada nganggur. Mau kerja lain juga gak punya modal,” imbuhnya
Dari pantauan tim Piyungan Online di beberapa kampung nelayan, sejak Rabu, 19 November 2014, para nelayan memilih tak melaut, atau terpaksa berhutang untuk bisa melaut.
Berbeda dengan Sarto, Warlan dari Kampung Nelayan Tegal Sari, Kabupaten Tegal, justru meminta pemerintah menghapuskan subsidi solar, asal pasokannya lancar dan kuotanya tak dibatasi. Pasalnya, seringkali pasokan solar di Stasiun Pengisian Bahanbakar Nelayan (SPBN) tersendat dan kuotanya dibatasi.
“Percuma murah kalau ujung-ujungnya hanya dibatasi penjualannya. Seringkali untuk nunggu jatah pengisian, kami mesti nunggu sebulan. Kalau sudah begitu, mendingan beli di pengecer, meskipun lebih mahal, tapi solar selalu ada dan bisa diutang,” tambah Warlan.
Kondisi tak berbeda juga dialami Sujay, nelayan dari Pakis Jaya, Karawang. Minggu dini hari ini, 23 November 2014, Sujay mengeluhkan sering tersendatnya pasokan Solar yang membuat nelayan terpaksa antri berhari-hari untuk mendapatkan solar bersubsidi.
“Sering, ngantri lama, sampai sebulan, cuma buat dapet seiprit (sedikit). Eh ini malah dinaikin. Benerin dulu pasokan, baru naikin. Udah mahal, gak lancar, gak bisa diutang, nelayan jadi males ngisi di SPBN,” ujar Sujay lugas.
Sementara itu, Sadi, nelayan dari Sukajaya, Cilamaya Kulon Karawang mengatakan, datangnya musim penghujan sama artinya dengan musim paceklik bagi nelayan.
“Gimana mau ngelaut? Ombaknya tinggi banget. Ini perahunya cuma sampan. Hasil tangkapan sedikit, buat beli solar juga gak nutup,” ujar Sadi.
Maka Sadi menyesalkan kebijakan pemerintah untuk menaikan harga solar, apalagi ketika paceklik datang seperti saat ini.
Sementara sejumlah nelayan di kampung nelayan Tambak Mulyo, Semarang, mengeluhkan kenaikan harga solar di saat Indonesia memasuki musim penghujan. Mereka mengeluhkan harga kenaikan harga BBM di saat kondisi laut sedang tidak bersahabat memasuki musim hujan saat ini.
- "Hasil tangkapan ikannya berkurang, anginnya sedang tidak baik. Bahkan, tidak menutup untuk membeli bahan bakar solar yang sudah mencapai Rp7500, " ujar Rohman, seorang nelayan di Tambak Mulyo, Semarang, Jumat 21 November 2014.
Kenaikan harga solar saat ini membuat para nelayan sibuk mencari sumber bahan bakar alternatif. Namun karena mereka tak memiliki cukup pengetahuan, akhirnya pasrah dan hanya mampu berharap pemerintah mencarikan solusi.
"Kami berharap pada pemerintah untuk mencarikan solusi, khususnya ada bahan bakar yang tidak mahal," ujar Rohman.
Sementara itu, Mario Triwibowo, Pengawas Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) Tambaklorok, mengatakan bahwa usai kenaikan BBM bersubsidi pada 18 November lalu, konsumsi solar di SPBN tempatnya bertugas menurun hingga 10 persen dibanding kondisi sebelum BBM naik.
"Mereka ingin cari alternatif sumber energi lain. Karena nelayan mengeluhkan naiknya harga Rp5.500, kini menjadi Rp7.500," ujar Mario.
Mario mengatakan, tingginya harga solar kini membuat nelayan kecil beralih membeli solar ke pengecer. Meski, menurut Mario, harganya lebih tinggi, namun para melayan dapat membelinya dengan cara berutang. Dalam catatan Mario, ada 650 nelayan di wilayahnya, namun hanya 50 orang yang menjadi pelanggan SPBN. Sedangkan sisanya, membeli solar di luar SPBN.
"Kalau di SPBN sini kan, tidak boleh berutang. Saat ini, tercatat hanya ada 50 orang yang beli di sini," kata Mario.
Suara para nelayan ini patut didengar pemerintah Jokowi dan para pendukungnya yang selalu mengatakan, “Ah, cuma naik dua ribu aja ribut”. Untuk yang cuma“dua ribu”, banyak rakyat yang perlu berutang agar hidupnya dapat tetap berlangsung. (fs)
0 Response to "Imbas Tingginya Harga Solar, Nelayan Terpaksa Ngutang"
Post a Comment