Aktor Baru Demokrasi
“Aktor Baru Demokrasi” (2014) buku terbaru karya Arya Sandhiyuda (Kandidat Doktor Fatih Univ. Turki) mengulas dua fenomena termasyhur zaman kini: Demokratisasi dan semangat keagamaan. Dimana dunia Muslim, tidak terhindarkan dari pertemuan dua fenomena tersebut.
Di negara-negara Muslim pertemuan ide revivalisme /kebangkitan Islam dan demokrasi hadir dalam ragam bentuk. Ada yang berpunggungan, ada yang bergandengan.
Abad ke-19, disebabkan dahsyatnya ekspansi imperial Barat, membuat mayoritas ummat Islam meresponnya dengan xenophobia –anti asing- dan cenderung memunggungi Barat, sehingga di masa ini lahirlah ragam dikotomi antara spiritualisme vs modernitas, Islam vs Barat, dan seterusnya.
Ketika zaman bergerak, pada Abad ke-20, kekuatan Islam memasuki zaman ini dengan lebih percaya diri, adil, dan bijaksana. Dunia Muslim, mayoritasnya, mulai melihat nilai-nilai Islam dapat bergandengan dengan nilai-nilai demokrasi. Kini, da’wah Islam mulai bermunculan dari ranah demokrasi, mereka hadir sebagai Aktor ‘Baru’ Demokrasi.
Mesir, Turki, dan Tunisia, adalah tiga diantara negara-negara yang paling fenomenal di zaman kini untuk dapat dijadikan inspirasi dari para ABD berhaluan Islam. Bagi Islamis -di tiga negara tsb., sikap mendorong Demokratisasi bukanlah disebabkan karena paksaana atau jajahan, namun pilihan sadar rasional-ideologis yang melihat adanya kecocokan.
Islam, dalam pandangan para pegiat da’wah Islam, lebih memilih demokrasi dibanding otoritarian, karena dianggap lebih kondusif bagi tumbuhnya fithrah positif dari manusia. Pada pengalaman Turki misalnya, terjadi di era 1950-1960-an, saat gerakan-gerakan da'wah –seperti gerakan yang terinpisrasi ajaran ustadz Bediuzzaman Said Nursi- tumbuh pesat, karena rezim berganti tidak lagi menerapkan represi. Pada pengalaman Indonesia, OrLa dan OrBa juga kental dengan ‘peminggiran’ Islam oleh negara. Baru kemudian sejak 1990 negara lebih akomodatif terhadap Islam. Terbukti, era 1990 hingga sebelum reformasi, terjadi pertumbuhan populasi Muslim. Berkebalikan dengan fakta di era peminggiran.
Hanya saja, tidak semua fase akomodatif di negara-negara Muslim dapat dimanfaatkan oleh Islamis untuk mengawal demokrasi, serta memimpin negeri dengan ‘sukses’. Buku ABD ini menguliti apa-apa saja perbedaan inspiratif dari ketiga negara ini. Apa yang dapat dilakukan dan perlu dihindarkan.
Kiprah Islamis sebagai ABD di ketiga negara ini -Mesir, Turki, Tunisia, mengalami situasi yang berbeda, Islamis Mesir yang memimpin 2011 lalu dikudeta di 2012, Islamis Turki yang memimpin sejak 2002 hingga kini, dan Islamis Tunisia yang sejak 2011 mengalami menang dan kalah di 2014, namun tetap berada dalam koalisi pemerintahan. Ketiganya juga mengamali variasi yang berbeda. Mulai dalam mengelola hubungan islamis-sipil-militer antara akomodatif dan konfrontatif, mengelola demokrasi antara mayoritarian (Turki dan Mesir) atau konsensus (Tunisia), mengelola pemerintahan antara koalisi (Tunisia) atau non-koalisi (Turki dan Mesir), dan seterusnya. Ketiga negara yang memberikan inspirasi baik sebagai oposisi tirani, variasi demokrasi, ataupun renovasi madani.
Kesemuanya diulas oleh Buku ini beserta dengan faktor-faktor yang melatarbelakangi rasionalitasnya. Tepat untuk dibaca semua kalangan, baik para penikmat khazanah keilmuan sosial dan politik, ataupun para pegiat da’wah Islam yang mengenali dirinya sebagai ABD. (admin)
0 Response to "Aktor Baru Demokrasi"
Post a Comment