Mengambil Seperlunya Saja



Oleh Muktia Farid*

Saat tahun lalu kami berangkat umroh dengan tarif yang superhemat, beberapa orang bertanya, “Hotelnya jauh gak? Jauh lah ya mestinya?”. “Hotelnya kayak apa? Gak bakal sekelas zamzam atau hilton ya”

Ya namanya juga paket supersaver. Ana rega ana rupa. Tapi yang jelas kami tidak terlantar, meski nggak nginep di hotel terkenal. Alhamdulillah lokasinya cukup dekat untuk ditempuh jalan kaki PP. Waktu itu kan perhitungannya sederhana saja. Daripada berangkat hanya berdua dengan paket yang aduhai, lebih baik bisa untuk berangkat bertiga (saya,suami, ibu mertua) dengan paket yang adanye aje :)

Bicara tentang hotel berbintang, suami berkata, “Kalau buat orang umum yang nggak biasa di hotel, hotel seperti itu sudah cukup lah. Kita juga tahu fasilitas hotel berbintang2 kan karena fasilitas dinas. Jatahnya memang itu. Kalau biaya sendiri ya ngapain pilih yang berbintang2. Naik pesawat juga begitu kan. Pilih g*r*d* juga karena jatahnya memang itu kalau dinas. Kalau pas lagi urusan pribadi ya milih yang biasa-biasa aja, kalau perlu hunting tiket murah”

Aha, betul sekali. Kalau nginep sekeluarga ya pasti kami cari hotel murmer. Makan juga cukup di resto murmer, bukan untuk wisata kuliner tapi ya untuk benar-benar makan. Menyesuaikan dengan plafon anggaran ^_^

Nah, untuk liburan semesteran Desember besok, suami juga sudah buking tiket kereta untuk perjalanan mudik PP sekeluarga. Tiket bisnis? Nggak, cukup tiket ekonomi, yang harganya empatpuluh ribu rupiah saja per kepala. Itu sudah pakai AC lho sekarang. Cukup nyaman lah menurut kami. Wong dulu jaman bujang malah biasa naik kereta yang sama dan gak pakai AC juga nyaman-nyaman saja. Sengaja memilih mudik dengan kereta, karena pengalaman bawa kendaraan sendiri itu ya kudu berlipat-lipat stok sabarnya menikmati macet di jalan. Apalagi saat lebaran atau liburan. Alasan lainnya, dengan naik kereta ekonomi, semoga ada lesson lain yang nanti dapat diambil oleh anak-anak, yang selama ini terbiasa dengan pemenuhan fasilitas. Nggak kayak ayah ibunya yang naik kereta pun dulu sering nggak dapet duduk, modal nggelosor di selasar. Bertemu dengan tipikal orang berbagai macam, yang kadang memang mampunya hanya naik kereta itu untuk bepergian, semoga mampu menghaluskan budi anak-anak kami.

Salah seorang teman lalu bertanya, “Kalau ekonomi kan kursinya keras dan tegak. Nggak capek nanti?”
Iya sih, kursinya memang begitu. Nggak bisa disetel pula, musti berhadapan. Tapi ya enjoy sajalah. Capek atau nggak itu menurut saya tidak semata karena kondisi, tapi juga sangat tergantung persepsi. Kalau hati senang, meski beraktivitas seharian juga nggak capek. Tuh contohnya anak-anak balita kita. Kalau sudah main di luar rumah, betaaah bener. Padahal mainnya ya lari, sepeda, dst yang full aktivitas fisik. Nanti giliran masuk rumah, baru berasa capeknya :D

Saya lalu teringat, belum lama mendapat postingan yang menyejukkan di grup WA kumpulan tausiyah RT tempat saya tingal (keren kan RT-nya, he). Tentang hedonic tridmil. Ini dipicu karena kadang kita merasa: Kenapa makin tinggi pendapatan seseorang, tetap saja uang yang lebih banyak itu tak mampu membuat kita lebih bahagia dibanding saat penghasilnnya masih sedikit? Kajian-kajian dalam ilmu financial psychology menemukan jawabannya, yang kemudian dikenal dengan nama “hedonic treadmill” tadi.

Gegara hedonic tridmill, seberapapun uang didapat, sejumlah itu pula akan habis untuk dibelanjakan. Gaji 1 juta habis, gaji 5 juta habis, gaji naik 20 juta pun tetap habis. Mengapa? Karena nilai hidup, harapan dan gaya hidup juga ikut naik sejalan dengan meningkatknya gaji. Yang tadinya seleranya ndeso, jadi berubah selti (selera tinggi). Yang tadinya asal punya sepatu yang awet, sekarang harus yang branded. Dan seterusnya.

Disebut hedonic tridmil, karena seperti berjalan di atas papan tridmil, berlari terus tapi nggak maju-maju. Nafsu untuk membelanjakan meningkat seiring income yang meningkat, tapi kebahagiaan dan kepuasan tak kunjung didapat. Ini juga sesuai dengan hukum Gossen 2 yang saya pelajari jaman SMA waktu mapel ekonomi, yang kurang lebih kontennya begini: jika kita sudah mencapai titik kepuasan terntentu, maka titik itu akan begeser mencari titik kepuasan yang lebih tinggi lagi. Judulnya, nggak akan pernah puas jika terus dituruti.

Lalu, bagaimana biar kita terhindar dari jebakan batman hedonik tridmill? Intinya adalah tetap bertahan pada value asal. Biarkan saja yang ndeso tetap ndeso. Tadinya doyan makan mendoan, ya biarkan saja tetap begitu, nggak harus ganti spaghetti. Tadinya bisa tidur pules di dipan yang hanya dialasi tikar, kenapa lalu menjadi gatal-gatal setelah banyak duit, sehingga tidur harus di spring bed high quality dan kamar full AC?

Alhamdulillah dalam agama saya pun persoalan ini dibahas. Oleh karena jika dituruti nggak pernah puas, maka solusinya adalah mengambil seperlunya saja. Bukan juga mengekangnya habis-habisan, yang nanti pasti akan menimbulkan masalah baru. Jadi tidak ekstrem kiri tidak ekstrem kanan. Term Islamnya disebut Qanaah, kalau term umumnya mungkin ‘bersahaja’. Contoh gampangnya begini. Nafsu sex itu ada pada manusia. Islam mengajarkan bahwa nafsu itu perlu disalurkan pada tempat yang benar, yaitu dengan menikah. Tidak dipangkas habis dengan anggapan jika disalurkan akan mengotori fitrah (misalnya dengan tidak boleh menikah). Tidak juga diumbar habis dengan zina dan freesex. Pertengahan saja, seperlunya saja. Itulah jalan yang lebih selamat.

Ohya, term qanaah ini khusus diperuntukkan untuk hal-hal yang sifatnya materi, bukan ilmu. Antonimnya adalah hirs, atau rakus. Islam justru mengajarkan, untuk harta dunia harus qanaah, tapi untuk ilmu justru harus hirs. Jangan dibalik! :)

Bersahaja, sederhana, itu merupakan pilihan sikap. Bukan soal keterpaksaan kondisi. Berbeda dengan miskin dan melarat, yang kata Nabi mendekatkan pada kekufuran. Nabi itu meskipun terbiasa tidur hanya dengan tikar yang membuat punggungnya tampak berbilur, atau hanya makan roti gandum kasar untuk makanan sehari-harinya, bahkan hingga menalikan batu untuk mengganjal perutnya yang lapar…. tapi beliau sama sekali tidak miskin. Beliau memilih hidup sederhana. Jika beliau miskin, mana mampu beliau meminang Khadijah dengan mahar 20 unta plus 12 uqyah emas? Jika harga unta berkisar 4000 riyal (setara dengan lk 10.000.000) artinya jika 20 unta maharnya adalah senilai 200 juta. Sedang 1 uqyah emas itu setara dengan 7,4 dinar. Nilai 1 dinar sekarang lk 2,2 juta, maka 12 uqyah itu jika dirupiahkan adalah sekitar 196jutaan. Jadi mahar Rasul waktu itu totalnya kurleb 400 juta! Ada, pemuda muslim (bukan artis lho ya) sekarang yang berani memberikan mahar segitu?

Ada juga orang yang berpendapat begini, “Allah kan suka jika kita menampakkan kesyukuran atas karunia yang Dia limpahkan”. Ini memang masalah pilihan. Tidak masalah juga menampakkan kesyukuran dengan menyesuaikan penampilan, asal hati tetap terjaga untuk qanaah. Dan saya termasuk yang takut soal itu. Takut tergelincir. Sewaktu rumah yang ditempati sekarang ini jadi, saya dan suami sempat khawatir, dan entah rasanya kok ‘agak menyesal’. Terlalu magrong-magrong, untuk ukuran kami. Jadi takut jika wujud syukur nikmat kami tak sejalan dengan nilai nikmat yang Allah anugerahkan.

Menurut senior saya, bentuk kesyukuran atas nikmat yang paling abadi justru adalah saat membaginya dengan orang lain. Tidak untuk dinikmati sendiri. Bagi kita ambil seperlunya saja, tidak harus sampai merubah gaya hidup dan tampilan (harus serba branded, misalnya). Sisanya adalah jatah orang lain, yang mampir lewat tangan kita. Sungguh, senantiasa berdoa, agar kami dimudahkan soal ini.

Saya teringat ucapan salah seorang senior, yang suaminya adalah seorang kepala badan (artinya jabatannya sudah selevel mentri). Tapi kalau melihat isi rumahnya, rasanya justru terharu. Kursi sofanya ada robek di beberapa bagian, televisi yang dimiliki juga tivi nyempluk jadul dengan ukuran standar, bukan tivi flat apalagi home theatre. Mobil pribadi pun cuma ada satu berupa mobil sedan tahun 90-an. Tapi jangan ditanya kontribusinya untuk masyakarat sekitar. Senior saya ini berkata, “Jika kita punya duit misalnya untuk beli alphard, menurut saya lebih baik beli innova 2. Kan nggak jauh beda naik alphard sama naik innova, sudah cukup nyaman lah innova. Bedanya itu ya kalau sama jalan kaki. Nah, kalau alphard cuma satu kan hanya dipakai sendiri (keluarga). Tapi jika ada innova dua, yang satu buat keluarga, yang satu bisa dihakpakaikan untuk umat, kan lebih joss itu”

Ya, bahagia itu sederhana saja, asal kita tahu cara memaknainya

*sumber: http://muktiberbagi.wordpress.com/2014/11/17/mengambil-seperlunya-saja/

http://presentasi.videomotivasi.com/

0 Response to "Mengambil Seperlunya Saja"

Post a Comment