Mr Jokowi, Please.. KISS!



Sejatinya, pekerjaan seorang politisi itu bisa dikatakan mudah.Paling tidak, sederhana, alias simple. Mudah karena pekerjaan pegiat politik itu sebenarnya tak lebih dari dua hal, yang keduanya pun memiliki kaitan begitu eratnya.

Kalau Anda politisi, maka pekerjaan Anda hanya dua saja: menghimpun kekuasaan (machtvorming) dan menggunakan kekuasaan (machttaanwending). Tentu saja,baik saat menghimpun maupun manakala menggunakan kekuasaan, keduanya harus dilakukan dengan elegan, terarah, dan seefektif mungkin.

Ketika Anda rajin mengunjungi orang berpengaruh untuk memanfaatkan pengaruhnya, ketika Anda blusukan untuk mengetahui apa sejatinya keinginan masyarakat, maka Anda sedang menghimpun kekuasaan. Ketika Anda berusaha menyingkirkan lawan politik Anda dengan memanipulasi wewenang yang Anda miliki, manakala Anda berusaha tegar dengan keyakinan karena tahu akan hak dan kewajiban, saat itulah Anda sedang menggunakan kekuasaan .

Farid Gaban seorang jurnalis senior Majalah Tempo pernah mengajarkan kepada para juniornya mengenai konsep kesederhanaan. Sambil mengutip pemenang Nobel Susastra, Ernest Hemingway, "Less is More," Farid menekankan bahwa tulisan yang sukses biasanya justru pendek, sederhana, terbatasi secara tegas dan sangat fokus.

Belakangan, ketika sesi pengajaran di Majalah Tempo digantikan oleh Amarzan Lubis, kesederhanaan dalam menulis itu lebih ditekankan lagi. Beliau memberi tian keledai, semacam rumus untuk diingat.

"Rumus menulis baik itu KISS," kata Pak Amarzan. "Setiap penulis harus selalu mengingatkan diri, KISS: Keep It Simple, Stupid !".

Tampaknya, soal kepemimpinan pun demikian juga. Sebagaimana penulis yang baik adalah yang mampu menjelaskan sesuatu yang rumit menjadi jelas secara sederhana, pemimpin yang baik pun tampaknya adalah mereka yang bisa menyederhanakan masalah agar persoalan bisa terselesaikan. Penyederhanaan akan membuat persoalan bisa diselesaikan dengan sangkil dan mangkus, eh, efektif dan efisien.

Tetapi lebihnya dibanding penulis, pemimpin mungkin perlu satu hal lainnya. Keberanian. Sebagaimana dicontohkan dengan gamblang oleh mahaguru manajemen, Peter Drucker, bahwa di balik kemajuan yang diraih perusahaan-perusahaan besar, selalu ada keputusan-keputusan berani di belakangnya.

Drucker percaya, keberanianlah yang membawa manusia kepada kemaslahatan dan kebaikan bersama. Almarhum Rendra pernah dengan sederhana menyamakan keberanian sebagai cakrawala. Kian berani seseorang, makin mampu ia melihat dunia secara holistik, secara menyeluruh. Dan itu modal besar bagi efektifnya keputusan yang akan ia hasilkan.

kesederhanaan. Hal ini lah yang belum terlihat dalam 100-an hari kepemimpinan  Jokowi. Dalam soal pergantian kepemimpinan di Polri, yang kemudian menjadi prahara berupa sengkarut institusi itu dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang hingga kini belum menemukan penyelesaian, tiadanya keberanian Presiden tersebut begitu jelas terlihat dan gamblang.

Sebab, bila keberanian tersebut telah ada sejak awal, tanpa harus berpanjang-panjang dengan melemparkan persoalan itu kepada KPK, Presiden bisa dengan sederhana memilih pengganti Jendral Sutarman. Publik akhirnya melihat, meski barangkali permainan politik tingkat tinggi itu hendak dibuat elegan dengan katakanlah bagi sebagian pengamat, langkah kuda Presiden, hasilnya justru tak lebih dari jalan di tempat. Bola kembali terlempar ke Istana, setelah Hakim Sarpin yang semula tak banyak dikenal kecuali mungkin oleh kerabat dan anak-anaknya, memenangkan gugatan praperadilan Budi Gunawan.

Cara Jokowi yang barangkali, hendak melawan kekuatan-kekuatan yang menekannya dengan cara elegan dan manis itu, kini tampak tidak lebih dari membuang-buang waktu. Sementara hak-hak prerogatif yang menjadi bagian kekuasaan Presiden, dibiarkan menganggur percuma.

Dalam kumpulan pidatonya, Nahzul Balaghah, sahabat Ali bin Abi Thalib RA berkata, "Takutlah kepada Allah dalam mengurus orang-orang kecil, yang peluang mereka dalam kehidupan begitu sempit; mereka yang tertindas."

Dalam hierarki yang lebih tinggi, Alquran bertanya dengan ketegasan seolah memerintahkan," Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang tertindas"?

Jika Jokowi memimpin rakyat Indonesia dengan benar, maka sudah menjadi salah satu bagian dari "berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang tertindas" itu.

Persoalannya, sudah saatnya kini Jokowi memakai rumus sederhana namun efektif . Jokowi hanya tinggal berpikir dan bertindak sederhana, menggunakan hak prerogatifnya.

So, Mr Jokowi, KISS!  Keep It Simple...., SIR! :)

http://www.takrim-alquran.org/program-sedekah-al-quran-untuk-kedua-orang-tua-2/

0 Response to "Mr Jokowi, Please.. KISS!"

Post a Comment