Pemilu dan Keharmonisan Keluarga | Oleh: Cahyadi Takariawan



Saya terhenyak membaca sebuah dokumen yang tersaji di depan saya pada musyawarah pagi ini, Sabtu 1 Nopember 2014. Ada sejumlah narasi dan evaluasi tentang pelaksanaan Pemilu 2014. Saya membaca cepat, namun mata saya terhenti pada sebuah baris di halaman belakang. Sebuah kalimat pendek, namun membuat saya merenung panjang.

Tertulis di halaman terakhir dokumen tersebut : Perjuangan pemenangan Pemilu hendaknya tetap memperhatikan “keselamatan” keutuhan keluarga.

Pertanyaan pertama adalah, apakah memang ada gejala pelemahan keutuhan keluarga dalam Pemilu 2014 kemarin? Pertanyaan kedua, seperti apa bentuk perhatian terhadap keselamatan keutuhan keluarga tersebut?

Tradisi Partai Dakwah

Dalam tradisi partai dakwah, pengajuan seseorang menjadi caleg adalah sebuah amanah, bukan keinginan masing-masing personal. Seseorang dijadikan caleg adalah mendapatkan amanah untuk berjuang melalui jalur lembaga legislatif, yang tentu saja harus dimulai dari perjuangan untuk meraih suara dan kursi. Perjuangan ini bersifat kolektif, bukan perjuangan yang bercorak mempribadi. Tidak ada perebutan untuk menjadi caleg, karena untuk menjadi caleg melalui keputusan struktur.

Karena tradisi seperti ini, maka pekerjaan pemenangan Pemilu pada dasarnya adalah merupakan perjuangan yang bersifat kolektif. Kendati masing-masing caleg bekerja optimal untuk memenangkan Pemilu, namun itu semua terkonsolidasikan dengan baik oleh manajerial struktur partai dakwah. Bahkan sangat banyak kader yang tidak menjadi caleg dan mereka semua tetap bekerja serius untuk pemenangan Pemilu.

Pada Pemilu 2014 ini, ada sebuah arahan dari para pemimpin pusat, bahwa dalam penyusunan calon anggota legislatif (caleg), dalam satu keluarga hanya diperbolehkan satu orang yang dicalegkan, yaitu suami saja atau istri saja. Tidak diperkenankan kedua belah pihak dari suami dan istri diajukan semua menjadi caleg, walaupun dalam tingkatan yang berbeda.

Alasan utama dari kebijakan ini adalah untuk menjaga ketahanan keluarga. Sebagaimana diketahui bahwa ajang Pemilihan Umum Legislatif (Pemilu) merupakan ajang kontestasi politik yang sangat “liar” dalam aplikasinya. Untuk perjuangan pemenangan Pemilu, diperlukan usaha, tenaga dan sumber daya yang luar biasa besarnya, apalagi dalam sistem pemilihan dengan suara terbanyak seperti terjadi pada Pemilu 2009 dan 2014.

Kebijakan ini terasa sangat menyejukkan dan segera direspon dengan postif oleh seluruh struktur dan kader. Dalam penyusunan caleg di seluruh wilayah selalu menjadikan kebijakan ini sebagai acuan. Ketika seorang kader dicalonkan sebagai caleg di sebuah daerah pemilihan (dapil) tertentu, maka pasangannya tidak lagi diajukan sebagai caleg, baik di dapil yang sama maupun di dapil yang berbeda, di tingkat yang sama maupun di tingkat yang berbeda.

Inilah tradisi dalam partai dakwah yang sangat peduli dan sayang keluarga. Kegiatan politik secara umum maupun Pemilu secara khusus, tidak boleh mengganggu ketahanan keluarga. Dalam situasi dan kondis seperti apapun, keluarga harus menjadi bagian penting yang harus selalu dijaga dan dikuatkan keharmonisannya. Dalam partai dakwah, keluarga adalah salah satu pondasi dan basis utama bagi kebaikan semua upaya perbaikan secara global.

Cerai Karena Politik

Banyak kejadian di dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, ketahanan keluarga terkoyakkan oleh aktivitas politik. Hal ini tidak boleh berimbas pada keluarga kader. Pada kalangan masyarakat umum, perbedaan afiliasi politik bisa menyebabkan pertengkaran dan konflik yag hebat di antara suami dan istri, sampai ke tingkat perceraian. Khofifah Indar Parawansa pernah menyampaikan peringatan, “Menjelang Pemilu 2014, angka perceraian cenderung meningkat gara-gara perbedaan politik antara suami dan istri“.

Seorang pejabat Kementrian Agama RI pernah menyampaikan data, kasus perceraian karena perbedaan afiliasi politik ini memang menjadi salah satu persoalan tersendiri di Indonesia. Tahun 2009, ada 402 kasus perceraian karena perbedaan politik. Ini dipahami karena tahun 2009 adalah tahun Pemilu. Pada tahun 2010, ada 334 kasus perceraian karena perbedaan politik. Hal ini dipahami karena sudah melewati Pemilu, sehingga kejadiannya menurun.

Tahun 2013, kejadian kembali meningkat, karena menjelang Pemilu 2014. Dijumpai 500 kasus perceraian karena perbedaan politik di tahun 2013. Diperkirakan pada tahun 2014 kejadiannya bertambah banyak karena paling tidak ada tiga peristiwa politik besar di tahun ini, yaitu Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan fenomena Koalisi paska Pemilihan Presiden. Ternyata perbedaan afiliasi politik menjadi salah satu isu sensitif dalam kehidupan keluarga di Indonesia.

Dalam pemahaman dan tradisi partai dakwah, aktivitas politik adalah salah satu sarana untuk mencapai tujuan-tujuan penting dalam perbaikan bangsa, negara dan bahkan dunia. Oleh karena itu, aktivitas politik tidak boleh melemahkan apalagi sampai merusak keharmonisan serta keutuhan keluarga. Sangat tepat kiranya ketika  para pimpinan partai dakwah memberikan arahan serta kebijakan yang selalu berusaha menjaga keutuhan keluarga sebagai basis dari seluruh upaya perbaikan.

Partai Dakwah Sayang Keluarga

Pada dasarnya, partai dakwah selalu memiliki perhatian besar terhadap kekokohan keluarga. Namun karena sifat politik yang sangat “keras”, maka tetap bisa muncul peluang konflik politik dalam kehidupan keluarga antara suami dan istri. Di antara contohnya, pada Pemilu 2014 ini sistem yang digunakan adalah keterpilihan berdasarkan suara terbanyak.

Keterpengaruhan ke dalam keluarga kader, bisa dalam bentuk dukungan yang berbeda antara suami dan istri, dalam proses pemenangan para caleg dari partai dakwah. Jika suami menjadi tim sukses (timses) dari caleg lelaki –sebut saja bernama A, dan suami menjadi timses dari caleg perempuan –sebut saja bernama B. Keduanya, A dan B, sama-sama dari partai dakwah. Maka akan terjadi perbedaan kepentingan dalam arah dukungan dari suami dan istri tersebut.

Ketika terjadi situasi perbedaan seperti ini, tidak boleh menjadi konflik antara suami dan istri. Mereka berdua bisa berembug dengan baik-baik bagaimana cara membantu caleg A dan B tersebut secara bijak. Tidak boleh menjadi bagian dari konflik yang membuat ketidakbaikan di dalam kehidupan keluarga. Mungkin peluang seperti ini hanya kecil atau tidak terlalu banyak kejadiannya, namun perlu diantisipasi agar tidak menjadi kerikil dalam keluarga kader dakwah.

Problem yang lebih riil adalah soal ekonomi. Ketika seorang kader menjadi caleg, sementara kondisi ekonominya belum cukup kuat, maka akan berdampak secara langsung terhadap kebutuhan pokok keluarga. Hal yang mendasar dalam hidup berumah tangga diantaranya adalah kebutuhan makan atau konsumsi, tempat tinggal, biaya pendidikan, kesehatan, transportasi, dan komunikasi, bisa terganggu jika ada momentum pencalegan.

Program pemenangan dalam Pemilu memerlukan sumber daya dan sumber dana yang sangat besar, terutama dengan sistem Pemilu langsung dengan suara terbanyak. Ditambah situasi masyarakat yang pragmatis maka akhirnya setiap caleg memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sangat sulit bagi para caleg untuk menghindarkan diri dari mengeluarkan biaya, bahkan terkadang di luar kemampuannya. Hal ini semua demi memenangkan partai dakwah –bukan memenangkan dirinya secara personal.

Hal inilah yang bisa mengganggu ketahanan keluarga. Muncullah catatan dalam lembar dokumen tersebut, agar memperhatikan “keselamatan” keutuhan keluarga. Hal ini menjadi catatan penting bagi semua pihak yang terlibat dalam pengambilan kebijakan partai dakwah, agar dalam kebijaka pencalegan sangat memperhatikan kemampuan dan kondisi riil dari masing-masing kader. Jika kader yang mendapat tugas sebagai caleg memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi, maka diperlukan back up yang memadai bagi kader yang mendapat tugas tersebut.

Jangan sampai kader yang mendapatkan tugas sebagai caleg terpaksa menanggung hutang dalam jumlah besar, sementara ia tidak memiliki kemampuan untuk mengembalikannya. Struktur harus memiliki perhatian terhadap situasi dan kondisi setiap caleg, dengan memberikan back up yang memadai sehingga tidak ada yang kader yang  terpaksa mengalami kesulitan seperti ini.

Menurut saya, ini adalah salah satu contoh catatan penting tersebut. Catatan agar perjuangan pemenangan Pemilu hendaknya tetap memperhatikan “keselamatan” keutuhan keluarga; di antara yang mempengaruhi keutuhan keluarga adalah kondisi ekonomi. Dana sangat terbatas yang dimiliki oleh para caleg, pada dasarnya adalah dana sama yang digunakan untuk makan da kebutuhan harian.

Ketika seorang caleg mengalokasikan dana satu juta rupiah untuk pembuatan atribut kampanye, artinya ia telah mengurangi jatah bagi keperluan hidup keluarganya sebesar satu juta rupiah tersebut. Karena sebagian besar kader dakwah belum memilik cadangan dana yang dialokasikan secara khusus untuk kepentingan pemenangan Pemilu. Sehingga, mereka harus mengeluarkan dana yang diambil dari jatah yang biasanya digunakan untuk keperluan harian.

Bukan saja terkait soal dana untuk pemenangan Pemilu, namun juga terkait resiko-resiko yang muncul akibat seseorang dijadikan caleg. Misalnya saja, karena menjadi caleg maka ia mendapat sanksi dikeluarkan dari intansi tempatnya bekerja yang menghendaki semua pegawai tidak terlibat dalam pencalegan. Ketika dikeluarkan dari tempat bekerja, ada sejumlah persoalan lain yang harus dihadapi kader tersebut, seperti sumber penghasilan berikutnya, status sosial, dan lain sebagainya.

Situasi ini bisa saja menimbulkan konflik suami istri, karena yang semula memiliki sumber penghasilan rutin, mendadak sumber itu hilang, dan masih ditambah dengan beban baru yang muncul akibat pencalegan. Tentu ini akan dirasakan sangat berat apabila kader yang bersangkutan belum memiliki sumber penghasilan lain yang rutim untuk menopang kehidupan keseharian yang bersifat asasi.

Catatan dalam dokumen tersebut sungguh bijak dan penuh kedalaman makna. Saya menjadi semakin merasakan betapa partai dakwah ini benar-benar sayang keluarga dengan catatan itu. Para pimpinan tidak menghendaki pemenangan Pemilu menjadi bagian yang merapuhkan keutuhan dan keharmonisan keluarga. Para pemimpin partai dakwah sangat sayang terhadap keutuhan dan keharmonisan keluarga dari seluruh kader dan anggota.

Para pimpinan partai dakwah tidak menghendaki politik menjadi bagian yang melemahkan berbagai kebaikan, baik dalam konteks individu maupun keluarga. Kita harus bekerja dan berjuang secara bersungguh-sungguh, mengeluarkan segala daya dan upaya, namun tidak boleh mengabaikan sisi-sisi kebaikan pribadi dan keluarga. Hal inilah yang menjadi ciri dan tradisi partai dakwah.

Bahwa partai dakwah sangat peduli dengan keharmonisan dan keutuhan keluarga. Bukan hanya peduli dengan kemenangan perjuangan Pemilu. 

Jakarta 1 Nopember 2014

Cahyadi Takariawan


0 Response to "Pemilu dan Keharmonisan Keluarga | Oleh: Cahyadi Takariawan"

Post a Comment