Oleh: Dr. Gentio Harsono*
Peneliti di Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL
Awal tahun 70an, masyarakat dunia mulai paham, fenomena iklim ekstrim seperti kekeringan dan banjir di sebagian besar belahan bumi dekade terahir, terkait dengan dinamika iklim yang dikenal dengan El Nino Southern Oscillation (ENSO). Jika El Nino sering dipandang dengan kekeringan panjang, gagal panen dan bencana kelaparan, maka La Nina identik datangnya bencana banjir. Badai El Nino di Indonesia menorehkan sejarah kelam saat ribuan orang di Lombok Tengah bagian Selatan mati kelaparan pada tahun 1954 dan 1966. Dampak El Nino kini diketahui bukan saja dirasakan dalam skala regional saja namun juga global.
Semula para ahli meteorologi dan kelautan menduga El Nino/La Nina bersumber dengan apa yang terjadi di pantai barat Peru Amerika Tengah. Hasil riset berikut justru meyakinkan di perairan tropis Pasifik barat-lah embrio semua denyut kejadian terkait El Nino/La Nina.
Berawal dari sistim angin di sepanjang ekuator, angin pasat (trade wind) yang bertiup secara mantap (steady) sepanjang tahun membawa massa air permukaan hangat sepanjang ekuator Pasifik, kemudian menumpuk di tropis Pasifik barat kira-kira ldi utara Pulau Papua hingga timur Mindanao yang dikenal Welahar Panas (Warm Pool). Membentuk perairan dengan suhu permukaan laut sangat hangat bahkan di perairan dunia, rata-rata diatas 29oC. Penelitian terkini menguak bukti baru perairan ini sumber masa air hangat dunia terbentuk, setelah sumber pembentukan massa air dingin di Laut Utara dekat Greenland. Interaksi keduanya membentuk sistim arus thermohaline global yang dikenal dengan Great Conveyor Belt. Para ahli juga memastikan denyut nadi seluruh Pasifik justru berada di Welahar Panas ini.
Gambar 1. Rumitnya Sirkulasi Arus di Utara Papua sebagai Jantung Tropis Pasifik (Sumber: Kashino et al., 2007) |
Suhu permukaan laut sangat hangat menjadikan penguapan tinggi, curah hujan tinggi menjadikan lapisan permukaan lautnya bersalinitas rendah (± 33.0 PSU), kontras dengan lapisan bawahnya bersalinitas ± 35.0 PSU, diantara keduanya terbentuk lapisan gendala (barrier layer) menghalangi naiknya nutrien lapisan bawah ke permukaan (up welling), menyebabkan suhu permukaan laut tetap bertahan hangat (> 29˚C). Kondisi maksimum seperti ini terjadi saat berlaku even La Nina.
Meski dikenal produktivitas primer yang rendah (oligotropik), kenyataannya lingkungan perairan ini justru banyak mendukung lingkungan ekologis berbagai habitat jenis ikan pelagis samudera. Welahar panas ini bahkan menyuplai bagian terbesar produksi tuna dunia (> 1.5 juta ton pertahun) atau 40% jumlah tangkapan tuna dunia ada di wilayah perairan ini, terutama cakalang (Katsuwonus pelamis) dan Madidihang (Thunnus albacores) mendominasi.
Apa yang menjadi daya tarik ikan pelagis samudra seperti halnya cakalang dan tuna sirip kuning memperoleh tempat yang nyaman bagi keberlangsungan hidup mereka di tengah gurun “panas” dan “gersang” ini?. Kuncinya, terdapat pada keberadaan lapisan gendala ini dan angin kencang baratan (Westerly Wind Bursts) terkait gelombang atmosfer antar-samudra Madden Julian Oscillation (MJO). Ketika rejeim angin ini berlaku semakin intensif, momentum energi meningkat, dari semula terjebak di lapisan permukaan menjadi lebih dalam serta menghasilkan aliran maksimum massa air ke timur membawa welahar panas bergeser ke timur menuju Pasifik Tengah.
Ketidakhadiran lapisan gendala di perairan Pasifik Barat ini memungkinkan angin mengaduk massa air lebih dalam di kolom terstratifikasi ini. Massa air dingin dan lebih asin serta kaya hara juga lebih mudah mengadakan sirkulasi terhadap lapisan atasnya. Suhu permukaan laut yang dingin, tentu saja mengurangi tingkat penguapan dengan produksi awan yang minimum, curah hujanpun mencapai minimum. Mekanisme ini menginduksi terjadinya peningkatan produktivitas phytoplankton, organisme renik peletak dasar dalam siklus rantai makanan di laut. Kondisi ini kerap terjadi selama even El Nino berlangsung.
Nutrien penting untuk pertumbuhan phytoplankton seperti unsur besi dan magnesium juga banyak disuplai dari wilayah perairan sepanjang pantai utara Papua yang dibawa oleh Arus Pantai Papua. Hamparan terumbu karang, interaksi gelombang pasang surut dalam (internal tide) dengan punggung laut (sill) di selat Halmahera serta pengaruh sungai-sungai besar seperti Sepik, Membramo dan Matabori membawa sejumlah besar nutrien masuk kedalam perairan oseanik Pasifik barat. Burns et al. (2007) memperkirakan pasokan nutrien yang masuk ke laut dari sungai Sepik 1.1 x 1010 mol/tahun untuk nitrogen dan 4.6 x 108 mol/tahun untuk unsur phospat. Sedangkan Muchtar (2004) menyebut sekitar 0.05-1.02 µg At/l kandungan fosfat an-organik dan 0.12-1.78 µg At/l nitrat terdeteksi di permukaan perairan muara Sungai Membramo. yang kaya nutrien dan diperkaya unsur besi (Fe) dari aktivitas geothermal atau sedimen fluvial di lereng benua pantai utara Papua.
Adalah arus pusar Halmahera (Halmahera Eddy) yang merubah perairan miskin ini menjadi perairan produktivitas primernya meningkat tajam terutama saat even El Nino berlangsung, membawa dan mendistribusikan massa air kaya phytoplankton dan juga nutrient dari perairan teritorial Indonesia masuk kedalam sistim Arus Sakal Katulistiwa Utara yang kemudian menyebar hingga Pasifik tengah. Peran penting inilah yang diduga terkait dengan dinamika perikanan tuna terutama di Pasifik barat dan Pasifik tengah.
Gambar Sebaran kapal penangkap tuna purse seine dan hasil tangkapan empat spesies tuna di Pasifik Barat dan Tengah (Sumber: Lehodey et al.,2011). |
Tidak heran, jika perairan Pasifik barat dan tengah (Western Central Pacific Ocean) sebagai wilayah yang memiliki arti penting dalam aspek ekonomi, budaya dan keanekaragaman hayati laut serta berkontribusi besar dalam ketahanan pangan baik skala regional maupun internasional. Perikanan tuna di wilayah ini meliputi hampir separuh perikanan dunia, menjadi ekonomi andalan bagi negara-negara kepulauan dengan wilayah teritorial perairannya.mSebagai gambaran jumlah tangkapan tuna yang dihasilkan di wilayah WCPO adalah pada tahun 2010 sebesar 2.421.113 metrik ton, mewakili sekitar 83% total penangkapan di seluruh Pasifik dan 60% total tangkapan dunia yang mencapai 4.017.600 metrik ton pada tahun 2010 (Harley et al., 2010).
*Penulis Dr. Gentio Harsono, Peneliti Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL, Alumni IPB
(Tulisan ini diterima redaksi Piyungan Online dari kiriman email penulis)
0 Response to "MENGUAK JANTUNG HABITAT TUNA PASIFIK | Oleh: Dr. Gentio Harsono (TNI-AL)"
Post a Comment