[Konflik PPP] SK Menkumham Batal Demi Hukum



Oleh: Abdullah Labungasa
Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Tadulako

Konflik di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi batu sandungan terhadap integritas forum Paripurna pengambilan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),  dalam hal pembentukan alat kelengkapan dewan (AKD). Hal ini dikarenakan adanya dualisme kepengurusan yang memberikan  rekomendasi kepada anggota legislatif  yang akan duduk dalam AKD mewakili fraksi PPP tersebut.

Yang menjadi pertanyaan masyarakat adalah konflik yang mendera Parpol  Islam tersebut semakin diperuncing dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Kementrian Hukum dan Ham (Kemenkumham) yang ditanda tangani oleh Dr. Yasonna Laloy yang baru sehari dilantik menjadi menteri. Dengan adanya SK Kemenkumham tersebut tentang legalitas atas kepengurusan  PPP versi Muktamar Surabaya tersebut menjadi catatan buruk di awal kepemimpinan Menkumham Dr. Yasonna  Laoly. Karena penandatanganan SK tersebut  dianggap sarat dengan muatan politik, sebab terkesan terburu-buru.

Jika dikaji aturannya seharusnya proses penerbitan SK tentang legalitas kepengurusan baru sebuah parpol di Kememkumham, harus melalui  mekanisme yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Parpol yaitu UU No 2 Tahun 2008 yang direvisi menjadi UU No 2 Tahun 2011, dimana cukup membutuhkan waktu yang  panjang tidak hanya dalam sehari. Apalagi parpol tersebut mengalami masalah dualisme kepemimpinan nasional.

Bila dilihat dari original inten UU No  2 Tahun 2011 pasal 32 dan 33 tentang parpol bahwasanya, apabila terjadi perselisihan di dalam parpol, maka penyelesaianya harus dilakukan melalui Mahkamah Partai dan apabila pihak yang merasa tidak puas dengan keputusan Mahkamah Partai dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri  atau pengadilan tinggi yang putusannya  bersifat final, dan mengikat, upaya hukum lain dapat dilakukan melalui kasasi di Mahkamah Agung yang sifatnya terakhir dan tidak ada upaya hukum lain.

Oleh karena itu harusnya Kememkumham sebelum mengeluarkan keputusan tentang keabsahan kepengurusan Parpol terlebih dulu menkaji dari sisi normatifnya apakah kepengurusan parpol tersebut sudah sesuai dengan mekanisme AD/ART yang berlaku dalam Parpol tersebut, apalagi Parpol tersebut masis mengalami konflik kepengurusan.

Apabila terdapat Parpol yang kepengurusannya mengalami dualisme kepemimpinan maka Kemenkumham tidak boleh mengeluarkan SK tentang keabsahan kepengurusan hingga benar-benar sengketa parpol tersebut diselesaikan secara damai sesuai dengan ketentuan AD/ART Parpol tersebut atau kepengurusan Parpol tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap sebagai pengurus yang sah dari Mahkamah Agung.

Dalam teori hukum administrasi negara yang dikemukakan oleh Prof Muchsan bahwa sebuah keputusan Pejabat Tata Usaha Negara (Beschikking) dikatakan sah apabila memenuhi syarat materiil dan syarat formil. Syarat materilnya adalah tidak mengalami kekurangan yuridisnya yaitu tidak adanya paksaan, paksaan yang dimaksud adalah berbeda antara kenyataan dan kehendak, sebagai akibat adanya unsur eksternal dan adanya kekhilafan serta tipu muslihat.

Syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan bentuk yang mendasarinya yang dimaksud dengan bentuk yang mendasarinya adalah pertama bentuk keputusan harus sama dengan bentuk yang dikehendaki oleh peraturan yang mendasarinnya, kedua prosedur harus sama dengan bentuk yang diatur dalam peraturan yang mendasarinya dan ketiga syarat khusus yang dikehendaki oleh peraturan dasar harus tercermin dalam keputusan.

Jadi  yang menjadi dasar formil dalam keputusan tersebut adalah UU tentang Parpol yang dimana dalam pembentukannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam UU No.2 tahun 2011 tentang Parpol.

Olehnya keputusan Kemenkumham tentang kepengurusan PPP versi muktamar VIII Surabaya cacat (batal) demi hukum, karena mengabaikan prinsip-prinsip dalam pembentukan sebuah Keputusan Tata Usaha Negara.


0 Response to "[Konflik PPP] SK Menkumham Batal Demi Hukum "

Post a Comment