Jokowi Bukan Presiden Ketujuh

Ilustrasi-Foto: Simplenews
Didalam perjalanannya, sejarah mencatat, bahwa Indonesia dipimpin oleh seorang kepala negara yang menjalankan pemerintahan, yaitu Presiden. Ada 7 nama presiden yang umum diketahui selama ini sebagai pemimpin pemerintahan NKRI. Mereka adalah :

1. Soekarno (1945 - 1966)
2. Soeharto (1966 - 1998)
3. BJ. Habibie (1998 - 1999)
4. Abdurahman Wahid (1999 - 2001)
5. Megawati Sukarnoputri (2001 - 2004)
6. Susilo Bambang Yudhoyono (2004 - 2014)
7. Joko Widodo (2014 - 2019)

Namun sungguh disayangkan, ternyata ada dua nama presiden yang terlupakan atau memang sengaja dilupakan oleh sejarah Indonesia.

Nama-nama yang terlupakan begitu saja tersebut, ialah Sjafruddin Prawiranegara, yang menjabat presiden pada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), dari tanggal 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949, dan Mr. Assaat, yang memangku sementara jabatan Presiden Republik Indonesia (RI) pada periode 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, setelah Konferensi Meja Bundar (KMB).

Dua nama Presiden tersebut merupakan nama yang tak tercatat di dalam sejarah Indonesia, mungkin karena alpa, tetapi mungkin juga malah memang disengaja dengan alasan-alasan tertentu. Sebelum menilai, ada baiknya simak catatan sejarah berikut ini :

Sjafruddin Prawiranegara, Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), periode 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949.


Sjafruddin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Presiden yang merangkap menteri pertahanan, penerangan, dan luar negeri ad interim pada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), yang dibentuk untuk menyelamatkan pemerintahan RI.

Saat itu, Belanda baru saja melancarkan agresi militer ke-2, pada 19 Desember 1948, di Ibukota sementara RI yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta. Belanda pun menahan Presiden dan Wakil Presiden RI saat itu, Soekarno-Hatta.

Di sela-sela penangkapan itu, Soekarno mengirim telegram kepada Sjafruddin yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran RI, dan tengah berada di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kepada Sjafruddin, Soekarno meminta agar dibentuk pemerintahan darurat di Sumatera, jika pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi.

Sjafruddin dan tokoh-tokoh bangsa lainnya di Sumatera kemudian membentuk PDRI, untuk menyelamatkan negara yang berada dalam keadaan berbahaya akibat kekosongan posisi kepala pemerintahan (Vacuum Of Power).

Oleh karena posisi itu menjadi salah satu syarat internasional untuk diakuinya sebagai negara di dunia, diproklamirkanlah PDRI pada tanggal 22 Desember 1948 di Desa Halaman, sekitar 15 Kilometer dari Payakumbuh.

Ada kisah menarik dari sejarah PDRI ini. Kala itu, komunikasi antara pimpinan PDRI dengan para pemimpin perjuangan di Jawa hanya bisa dilakukan melalui percakapan radio telefoni dan telegram (radio telegrafi). Melalui radio pula sering terjadi “perang” dengan Belanda.

Radio Belanda sering menyiarkan hal-hal yang merugikan wibawa Republik Indonesia. Maka radio-radio gerilya PDRI pun tidak tinggal diam akan hal itu, segera menetralisirnya dengan keterangan yang benar.

Pada suatu kali Radio Belanda mengejek PDRI dengan kepanjangan arti sebagai “Pemerintah Dalam Rimba Indonesia”. Maka Syafruddin segera membalas : 

    “Kami meskipun berada di dalam rimba, masih tetap berada di wilayah Republik Indonesia, karena itu kami merupakan pemerintahan yang sah! Tapi Belanda, pada waktu negerinya diduduki Jerman, pemerintahnya dengan pengecut malah mengungsi ke Inggris. Padahal Undang-Undang Dasarnya sendiri menyatakan, bahwa kedudukan pemerintah haruslah di wilayah kekuasaannya. Apakah Inggris menjadi wilayah kekuasaan Belanda? Yang jelas pemerintah Belanda tak lebih dari pecundang dan menjadi tidak sah!”

Perang Diplomasi melalui udara ini ternyata memiliki dampak yang luar biasa. Diiringi dengan diplomasi Internasional yang kuat, simpati dari negara lain pun mulai berdatangan.

Dua hari setelah Belanda menyerang Yogyakarta dan menangkap para pemimpin republik Indonesia, Srilanka menutup pelabuhan udaranya buat kapal-kapal terbang Belanda yang akan pergi atau kembali dari Indonesia.

Tindakan ini kemudian diikuti India dan Pakistan. Liga Arab di Kairo mengajukan imbauan kepada Dewan Keamanan PBB supaya Belanda segera menghentikan agresi militernya. Dan Amerika pun menghentikan bantuan kepada Hindia Belanda mulai tanggal 22 Desember 1948.

Atas usaha Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Belanda akhirnya terpaksa berunding, dan Perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949, berhasil mengakhiri upaya Belanda.

Jabatan Presiden merangkap menteri pertahanan, penerangan, dan luar negeri ad interim yang diisi Sjafruddin kemudian berakhir setelah kembalinya Soekarno dan kawan-kawan ke Yogyakarta yang dibebaskan oleh Belanda.

Pada 13 Juli 1949 diadakan sidang antara PDRI dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta serta sejumlah menteri kedua kabinet. Sjafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya secara resmi pada tanggal 14 Juli 1949 di Jakarta. Selama 207 hari berjuang demi mempertahankan kedaulatan Indonesia, riwayat PDRI pun berakhir.

Mr. Assaat, Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia (RI), periode 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950.


Mr. Assaat pernah dipercaya menjabat Pemangku sementara jabatan Presiden Republik Indonesia (RI), pada periode 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950. Jabatan itu diamanatkan kepada Mr. Assaat, setelah perjanjian KMB, 27 Desember 1949, yang memerintahkan pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia kepada pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS).

RIS merupakan negara serikat yang terdiri dari 16 negara bagian, salah satunya adalah Republik Indonesia (RI), yang saat itu dipimpin pemangku sementara jabatan Presiden, Mr. Assaad. Jabatan itu diisi Mr. Assaat, karena Soekarno dan Hatta ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RIS, akibatnya pimpinan RI kosong.

Peran Mr. Assaat saat itu sangat penting, karena jika RI tanpa pimpinan, berarti ada kekosongan kekuasaan (Vacuum Of Power) dalam sejarah Indonesia. Jabatan Mr. Assaat sebagai pemangku sementara jabatan Presiden RI, berakhir setelah Belanda dan dunia internasional mengakui kembali kedaulatan RI.

RIS dilebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pada 15 Agustus 1950. Soekarno dan Hatta kembali ditetapkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, sementara jabatan Mr. Assaat sebagai pemangku sementara jabatan Presiden RI dinyatakan berakhir.

Demikian sejarah 2 presiden RI yang dilupakan oleh sejarah tersebut, semoga kita selalu mengingat, bahwa kita pernah memiliki 2 orang presiden yang sangat berjasa kala itu. Meskipun hanya bersifat sementara, namun keberadaan dan peran serta 2 presiden RI ini dalam mengukuhkan kedaulatan NKRI, sangatlah luar biasa pentingnya.

Jadi, jika diurut dan diluruskan kembali sesuai dengan sejarah yang sebenarnya, maka susunan presiden yang pernah menjabat di Indonesia ada 9 presiden, mereka adalah :

1. Soekarno (1945 - 1966)
2. Sjafruddin Prawiranegara (1948 - 1949)
3. Mr. Assaat (1949 - 1950)
4. Soeharto (1966 - 1998)
5. BJ. Habibie (1998 - 1999)
6. Abdurahman Wahid (1999 - 2001)
7. Megawati Sukarnoputri (2001 - 2004)
8. Susilo Bambang Yudhoyono (2004 - 2014)
9. Joko Widodo (2014 - 2019)

    "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya"
    "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan sejarah (jasmerah)"

                                                                                  (Ir. Soekarno)

[Siradel/fs]

0 Response to "Jokowi Bukan Presiden Ketujuh"

Post a Comment