Hijab: Sebuah Film Kosong


Biasanya kalau ada film bernuansa Islam--atau minimal film yang membangun, saya kerap menonton di awal sejak ditayangkan di layar bioskop. Karena tiga hari sejak penayangan, film sangat menentukan akan bertahan atau lengser dalam waktu yang tak ditentukan. Seperti film Assalamualaikum, Beijing yang diadaptasi dari novel Asma Nadia, saya menontonnya pada hari pertama. Ketika itu bioskop sangat penuh. Sementara ketika muncul film Hijab muncul, tidak ada nafsu yang menggebu bagi saya untuk menonton film tersebut karena dikerjakan oleh Hanung Bramantyo (HB) yang tenar dengan film-film yang sarat dengan...Anda tahu jawabnya.

Namun Sabtu kemarin, saya memutuskan untuk menonton film Hijab. Bukan, bukan karena ingin menikmati karya HB, namun saya harus mengetahui di mana letak “kreatif” film yang membuat suami Hanum Rais Salsabiela, Rangga Almahendra, hengkang dari kursi bioskop pada menit-menit awal scene.

Melalui pranala dari web 21cineplex.com,  saya mengecek theatre mana yang masih menayangkan Hijab. Kokas (Kota Kasablanka) kosong, Tamini kosong, Kramat Jati kosong, Setiabudi kosong, Kemang Village kosong, Detos kosong,  Margo City kosong, akhirnya pilihan nonton jatuh di Pejaten Village, Jakarta Selatan karena hanya itu yang lumayan dekat dari tempat singgah saya dan Hijab masih tayang di sana. Film ini baru tayang 15 Januari 2015 lalu, baru dua minggu berada di bioskop, tapi kenapa banyak bioskop sudah kosong (atau tak menayangkan)? Dan lagi ketika memasuki bioskop, masih banyak kursi kosong. Kalau boleh menghitung penonton tak lebih dari 30 orang.

Adegan dimulai dengan video wawancara pengalaman Bia (Carissa Putri), Tata (Tika Bravani) dan Sari (Zaskia Adya Mecca). Mereka bertiga adalah perempuan bersuami dan berjilbab dengan style yang berbeda-beda. Bia yang desainer dan bersuamikan artis memilih berjilbab fashion. Tata yang istri fotografer menutupi rambutnya yang botak dengan Turban. Sari yang bersuamikan lelaki keturunan Arab membalut tubuhnya dengan jilbab syar’i. Hanya Anin (Natasha Rizki) yang memilih hidup free: emoh berjilbab sekaligus emoh menikah. Seperti halnya Anin, awalnya Bia, Tata dan Sari adalah perempuan mandiri. Setelah menikah, mereka menjadi istri yang 'biasa’ dan berada dalam kondisi tidak ‘berdaya’.

Suatu hari, saat arisan bersama, Gamal (suami Sari diperankan Mike Luckock) menyindir dengan kalimat: 'semua arisan ibu-ibu sebenarnya arisan suami, karena duitnya dari Suami'. Tata terusik. Kemudian mengajak sahabatnya untuk menggugat ucapan Gamal dengan cara kembali menjadi perempuan mandiri seperti saat mereka masih lajang. Tidak disangka, Sari menyambut dengan antusias. Bia, Tata dan Anin jadi semangat. Akhirnya secara diam-diam mereka bekerja dengan memulai bisnis fashion HIJAB secara online. Bia desainernya, Sari yang mengelola keuangan, Tata dan Anin marketingnya. 

 “Hijab itu untuk menggantikan konde yang marak pada orde baru.” Salah satu pernyataan dalam dialog film tersebut.

Dalam 3 bulan, bisnis mereka meroket. Disamping itu,  fashion Hijab juga sedang menjadi trend di Indonesia.

Mereka telah berhasil membuktikan bahwa mereka bukan tipe perempuan ‘ikut suami’. Mereka akhirnya mandiri. Bahkan penghasilan mereka melebihi suami. Tanpa disadari para suami merasa gengsi dan terancam sehingga menyebabkan keretakan rumah tangga. Para suami mendadak banyak yang jobless gara-gara ‘ulah’ para istri yang bekerja.

Film ini memang bukan film dakwah, bukan film religi islami seperti kata HB, “Film ini kesannya religius, padahal tentang keseharian aja," ujar Hanung seusai syukuran film "Hijab" di Dapur Film, Jakarta Selatan, Selasa (16/9/2014) seperti dilansir Metrotvnews.

Dalam film ini, tokoh Chaky (Dion Wiyoko) yang berprofesi sebagai sutradara sepertinya representasi HB. Kerap membuat film kontroversial seperti adegan pembuatan film waria yang berhijab. Waria tersebut duduk bersama dengan dua hewan. Sebelah kanan ada kambing dan sebelah kiri ada seekor babi. Babi berkaitan erat dengan keharaman dan kambing identik dengan hewan halal serta “berjenggot”. Jelas sekali HB ingin campaign tentang apa. Selain itu, ada adegan di mana si Chaky di demo oleh ormas islam karena film-filmnya. Ada foto HB terpampang jelas di aksi tersebut. Ormas itu berpakaian serba hitam.

Di proyek directingsetelahnya, Chaky membuat video klip nasyid. Nasyid tersebut disetting menggunakan pakaian serba hitam dan make-up di bagian mata juga warna hitam. Mirip sekali dengan gaya gothic. Terkesan out of the box namun merusak kotak itu sendiri dengan brutal.

Curahan hati HB tidak sampai di situ, ia melecahkan Islam dengan meminjam “boneka”  Gamal. Gamal Abdul Naseer yang mencoba mengikuti syariat dengan baik dianggap konservatif . Ia selalu “mengharamkan” apa saja yang sebenarnya diperbolehkan dalam Islam.

Penggambaran sosok Bia sepertinya representasi jiwa Zaskia. Di mana Bia berjilbab karena “terjebak” kekagetan sekitar. Ia sudah kadung terkenal sebagai “gadis hidayah”, ingin melepas namun keberatan karena titel itu.

Film ini memang tak menggambarkan perjalanan seseorang menemukan hidayah untuk berhijab.  Justru kita akan banyak  temukan kegenitan HB dan ZAM untuk sekadar “dengarkan curhatku”. Film ini memang tak perlu ditonton,  jika ngebet nonton, tak perlu keluarkan uang, hanya perlu menunggu waktu lebaran tayang di teve.

Jika banyak bioskop yang kosong tak menampilkan film ini dan banyak bangku yang kosong, mungkin karena film Hijab memang benar-benar “kosong”. (pm)



Muhammad Sholich Mubarok
@paramuda


0 Response to "Hijab: Sebuah Film Kosong"

Post a Comment