Kalau yang diartikan dengan harga pokok bensin premium adalah uang tunai yang harus dikeluarkan untuk mengadakan bensin premium, apakah benar pemerintah memberikan subsidi yang juga dalam bentuk uang tunai yang harus dikeluarkan sehingga APBN jebol?
Izinkanlah saya mulai dengan menganalogikan pengertian tentang kata "subsidi" dan hubungannya dengan keluar masuknya uang tunai dengan analogi kebun cabe sebagai berikut.
Logika Kebun Cabe
Rakyat yang tidak berpendidikan tinggi dengan segera dapat menangkap konyolnya pikiran para elit kita dengan penjelasan sebagai berikut.
Rumah tempat tinggal keluarga pak Amad punya kebun kecil yang setiap harinya menghasilkan 1 kg. cabe. Keluarganya beserta para pembantunya cukup besar. Keluarga ini mengkonsumsi 1 kg. cabe setiap harinya.Seperti kita ketahui, ketika itu kalau produksi cabe yang setiap harinya 1 kg. itu dijual, pak Amad akan mendapat uang sebesar Rp 15.000 setiap harinya. Tetapi 1 kg. cabe itu dibutuhkan untuk konsumsi keluarganya sendiri.Biaya dalam bentuk uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pak Amad untuk menyiram dan memberi pupuk sekedarnya setiap harinya Rp. 1.000.
Pak Amad setiap harinya ngomel, menggerutu mengatakan bahwa dia sangat sedih, karena harus mensubsidi keluarganya sebesar Rp. 15.000 per hari, karena harus memberi cabe hasil kebunnya kepada keluarganya, yang harganya di pasar Rp. 15.000 per kg.
Akhirnya seluruh keluarga sepakat megumpulkan uang semampunya, (urunan) sebanyak Rp 5.000 yang diberikan kepada pak Amad sebagai penggantian untuk cabenya yang tidak dijual di pasar. Pak Amad masih menggerutu, mengatakan bahwa dia memberi subsidi untuk cabe sebesar Rp. 10.000 setiap hari.
Lantas tidak hanya menggerutu, dia berteriak-teriak bahwa dompetnya akan jebol, karena uang tunai keluar terus sebanyak Rp 10.000 setiap harinya. Dalam kenyataannya, dia keluar uang Rp 1.000 dan memperoleh Rp 5.000 setiap harinya. Jadi setiap hari kantongnya kemasukan uang tunai sebesar Rp 4.000.
Akhirnya, pada suatu hari dia teriak bahwa kantongnya penuh dengan surat utang, karena setiap hari dia harus mengeluarkan uang sebesar Rp 4.000, sambil merogoh kantongnya untuk diperlihatkan. Yang keluar bukan surat utang, tetapi banyak uang tunai sebagai hasil akumulasi dari Rp 4.000 setiap harinya.
Ketika saya menceriterakan ini, rakyat jelata yang minta penjelasan kepada saya mengatakan: “Iya Pak, kok aneh ya, punya cabe di kebunnya sendiri, harganya meningkat tinggi kok sedih, ngamuk, mengatakan kantongnya jebol, uang mengalir keluar, padahal yang keluar hanya Rp 1.000 per hari, dia memperoleh Rp 5.000 per harinya.”
Boleh dikatakan semua orang beranggapan bahwa harga bensin premium yang sekarang Rp 6.500 per liter itu mengakibatkan pemerintah merugi sangat besar, sehingga untuk pemakaian bensin premium pemerintah memberi subsidi kepada penggunanya dengan jumlah uang yang sangat besar pula.
Di dalam RAPBN-P tahun 2014 pada sisi Pengeluaran terdapat pos yang bernama “Subsidi BBM dan LPG tabung 3 kg.” sebesar Rp 284,99 trilyun.
Inilah yang disebut dan dikemukakan dalam setiap pembicaraan tentang betapa keuangan negara kita dibebani luar biasa beratnya oleh pemberian subsidi kepada para pengguna bensin premium. Pada sisi Penerimaan terdapat pos Pajak Penghasilan dari Migas sebesar Rp 80,57 trilyun dan pos “Penerimaan dari Minyak dan Gas Bumi” sebesar Rp 195,95 trilyun.
Jumlah Pemasukan dari Migas yang sebesar Rp 276,52 trilyun ini tidak pernah dikemukakan, sedangkan kalau Pemasukan uang tunai dari Migas ini kita perhitungkan, Defisit uang tunai yang disebabkan dari Bensin premium dan LPG tabung 3 kilogram yalah Rp 276,52 trilyun dikurangi dengan Rp 284,99 trilyun atau Defisit sebesar Rp 8,47 trilyun saja.
Bagaimana dengan yang tercantum dalam Nota Keuangan yang menyertai RAPBN tahun 2015?
Pada sisi Pengeluaran terdapat pos yang bernama “Subsidi Energi BBM dan LPG 3 kg.” sebesar Rp 291,11 trilyun. Angka inilah yang selalu ditonjolkan sebagai pengeluaran tunai untuk memberi subsidi kepada pengguna bensin premium, sehingga APBN akan jebol.
Pada sisi Pemasukan terdapat pos “Pemasukan dari SDA” dengan rincian antara lain : Pajak Penghasilan Migas Rp. 82,91 trilyun, Pemasukan dari Minyak Bumi Rp 156,35 trilyun dan Pemasukan dari Gas Alam Rp 50,45 trilyun.
Jumlah tiga pemasukan uang dari Migas tersebut sebesar Rp 289,71 trilyun. Kalau jumlah ini dikurangi dengan pos “Subsidi” sebesar Rp 291,11 trilyun, hasilnya minus Rp 1,4 trilyun. Namun tiga macam pemasukan tersebut tidak pernah disebut dan tidak pernah dikemukakan, sehingga kepada rakyat digambarkan bahwa pemerintah harus keluar uang sebesar Rp. 291,11 trilyun untuk “mensubsidi BBM”, sedangkan Pemerintah sendiri menulis dalm Nota Keuangan bahwa pengeluaran neto yang ada kaitannya dengan bensin premium dan LPG 3 kg. hanya Rp. 1,4 trlyun.
Harga yang pantas untuk rakyat
Dengan angka-angka tersebut tadi sekarang kita masuk pada pembahasan topik seminar hari ini, yaitu berapa harga bensin premium yang pantas untuk rakyat?
Kita mengacu pada Nota Keuangan dalam RAPBN tahun 2015. Yang kita dengar dan baca yalah harga keekonomiannya. Berapa itu? Harga bensin Pertamax sebesar Rp 10.900 per liter, yang sudah dianggap tidak mengandung subsidi. Karena nyatanya bensin premium dijual dengan harga Rp 6.500 per liter, untuk setiap liternya Pemerintah merugi sebesar Rp 4.400 per liter. Ini yang disebut “subsidi” dan tercantum pada sisi Pengeluaran dalam Nota Keuangan RAPBN tahun 2015.
Buat saya dan para penggugat terhadap pasal 28 ayat (2) Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas , harga yang pantas untuk rakyat bukan harga keekonomian yang dibentuk oleh mekanisme pasar yang dikoordinasikan oleh NYMEX di New York. Harga yang pantas adalah harga yang didasarkan atas dasar tiga faktor, yaitu: Kepatutan (Kepantasan), Daya Beli Masyarakat dan Nilai Strategisnya.
Kalau ditanya lagi berapa eksaknya dalam rupiah yang persis, jawabnya tidak ada. Harga yang pantas untuk rakyat adalah harga yang pantas, yang terjangkau oleh daya beli masyarakat dengan memperhitungkan dampak negatifnya karena bensin adalah komoditi yang strategis.
Harga yang demikian ini bisa lebih rendah dan bisa lebih besar dari harga keeonomiannya. Telah saya kemukakan tadi bahwa harga bensin premium lebih rendah dibandingkan dengan harga keeonomiannya. Apakah harga yang Rp 6.500 per liter itu harga yang pantas untuk rakyat?
Harganya harus ditentukan oleh para pemimpin bangsa yang diasumsikan sebagai orang-orang yang adil dan bijaksana. Pada tanggal 21 Oktober nanti Presiden kita disanjung sebagai Presiden yang pro rakyat, jujur, adil. Maka marilah kita dengarkan dan rasakan apakah harga yang akan ditentukan olehnya cocok dengan yang dirasakan oleh rakyat.
Harga yang pantas ditentukan oleh hikmat kebijaksanaan yang dicapai oleh permusyawaratan antara para pemimpin yang bijak dan adil.
Bukankah harga yang demikian akan merugikan negara luar biasa yang lantas membuat APBN kita jebol? Seperti yang angka-angkanya saya kemukakan tadi sama sekali tidak kalau saja kita sengaja atau tidak sengaja tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa ada Pemasukan dari bensin premium dan LPG tabung 3 kg., yang demikian jelasnya tercantum pada sisi Pemasukan dari APBN.
Yang benar yalah bahwa yang tadinya kelebihan uang tunai sangat banyak, semakin lama semakin mengecil sampai mulai tahun 2014 defisit atau minus Rp 8,47 trilyun, namun dalam RAPBN tahun 2015 defisitnya mengecil lagi menjadi Rp 1,4 trilyun. Perkembangan yang demikian disebabkan oleh konsumsi yang semakin membesar dan lifting yang semakin mengecil, sedangkan energi alternatif tidak kunjung datang.
Untuk lengkapnya,
Tahun 2010 surplus Rp 129,25 triyun
Tahun 2011 surplus Rp 102,06 trilyun
Tahun 2012 surplus Rp 77,41 trilyun
Tahun 2013 surplus Rp 82,38 trilyun
Tahun 2014 (RAPBN) minus Rp 8,47 trilyun
Tahun 2015 (RAPBN) minus Rp 1,4 trilyun.
Banyak terima kasih atas perhatiannya. [***]
Tulisan ini adalah key note speech yang disampaikan dalam seminar sehari tanggal 24 September 2014 di Kwik Kian Gie School of Business. Dikutip dari Kwikiangie.Com
0 Response to "Mencari Harga BBM yang Pantas untuk Rakyat Indonesia"
Post a Comment