“ Pity the nation that welcomes its new ruler with trumpeting, and farewells him with hooting, only to welcome another with trumpeting again", demikian tulis penyair Libanon, Khalil Gibran, dalam puisinya yang berjudul “Pity The Nation” tahun 1934.
Terjemahan sederhana dari puisi Khalil Gibran itu kira-kira berbunyi demikian:
"kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya dengan trompet dan melepasnya dengan cemoohan, hanya untuk menyambut penguasa yang lain dengan terompet lagi".
Bangsa Indonesia beberapa kali melakukan hal itu. Penguasa baru dielu-elukan dengan sanjungan dan pesta pora, lalu dilepasnya dengan caci maki, hanya untuk menyambut penguasa baru lainnya dengan hura-hura lagi. Ini terjadi hampir pada setiap ganti pemerintahan. Bung Karno dan Pak Harto mengalami drama ini secara tragis sampai akhir hayatnya.
Pers Barat menyebut Bung Karno wafat “in disgrace” (tidak dihormati) secara politik karena dalam status sebagai tahanan atau pesakitan, yang kesakitan, oleh pemerintah penggantinya. Demikian pula dengan Pak Harto, yang wafat dalam keadaan sakit dan masih dengan tuntutan untuk diadili oleh musuh politiknya.
Bahwa pemakaman kedua mantan presiden itu dihadiri ribuan orang, terutama para pendukungnya, dengan upacara kebesaran militer, bendera setengah siang tujuh hari, tanda berduka, itu ada alasan lain. Alasan itu adalah sebuah ajaran budaya Jawa yang berbunyi : “tega larane, ora tega patine”. Artinya, orang bisa tega terhadap seseorang yang dimusuhi menderita sakit, tapi merasa kehilangan juga waktu ia meninggal dunia. Apalagi, orang itu pernah menjadi pemimpin.
Ancaman pemakzulan untuk Jokowi, yang baru lewat 100 hari memerintah, menunjukkan bahwa bangsa ini patut dikasihani. Mengapa?. Karena pelantikan Jokowi sebagai Presiden ke tujuh RI dirayakan dengan gegap gempita tiada taranya oleh para pendukungnya.
Ancaman pemakzulan itu pertama kali diungkapkan oleh teman separtainya, yang kemudian ditanggapi publik, termasuk para pendukungnya sendiri, dengan alasan masing-masing. Gara-garanya adalah keputusan Jokowi untuk tetap mencalonkan Komjen Budi Gunawan (BG) sebagai Kapolri. Padahal, BG telah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK.
Para relawan pendukung Jokowi justru banyak yang berbalik arah dan kemudian mendukung langkah KPK. Mereka minta pencalonan BG dibatalkan. Sebaliknya, koalisi parpol pendukungnya bersikukuh agar BG segera dilantik. Keadaan tambah runyam ketika Bareskim Polri menangkap Waka KPK, Bambang Widjoyanto (BW), karena tuduhan yang dianggap mengada-ada.
Walau tidak dinyatakan secara ekplisit, Jokowi tampak “terjepit” di antara dua kekuatan besar: koalisi parpol pendukungnya versus rakyat pro-anti korupsi. Ia dianggap tidak tegas oleh kedua pihak, karena “menggantung” kasus ini dengan alasan menunggu proses hukum.
Jokowi tampak gamang. Pernyataannya dalam konferensi pers bersifat normatif, tidak seperti dulu. Media massa dan terutama media sosial, yang sebelumnya gigih mendukungnya, sehingga ia menjadi “media darling”, juga melancarkan kritik kepada Jokowi atas ketidaktegasannya.
Menyaksikan cara dan gaya bicara Jokowi di depan wartawan, yang sering terhenti beberapa saat, mencerminkan ia sedang dirundung kebingungan. Undangan Jokowi kepada sembilan tokoh bangsa, yang kemudian dikenal dengan tim sembilan, Prabowo Subianto ,mantan pesaingnya dalam Pilpres, dan Presiden ketiga RI, BJ Habibie, dibaca orang sebagai upaya mencari dukungan.
Saran tim sembilan: batalkan pencalonan BG. Sementara itu, Prabowo menyatakan mendukung apa pun keputusan Jokowi dalam urusan Kapolri. Saran Habibie tegas: Jangan takut dimakzulkan, karena ia dipilih langsung oleh rakyat, sama dengan anggota DPR. Rakyat di atas segalanya! Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Assidiqy, menyatakan tidak mudah melakukan pemakzulan.
Jokowi menunggu hasil sidang pra-peradilan yang diajukan BG terhadap penetapan dirinya sebagai tersangka di PN Jakarta Selatan, Senin, 2 Februari 2015 untuk mengambil keputusan. Namun seiring penundaan sidang hingga Senin 9 Februari 2015, karena wakil KPK tidak hadir dengan alasan masih mempelajari materi tuntutan yang diubah dari sebelumnya, membuat Jokowi terpaksa ngeles dan mengundurkan waktu pelantikan lagi.
Penundaan ini berarti memperpanjang silang sengkarut urusan Polri versus KPK, yang semakin lama menjadi bola liar yang membahayakan stabilitas negara. Sementara itu, UU Kepolisian menyebut calon Kapolri yang sudah disetujui DPR harus dilantik dalam batas waktu 20 hari sejak persetujuan 15 Januari. Artinya, “deadline” itu jatuh 4 Februari 2015. [Dengan kata lain, Komjen BG sebenarnya secara sah telah menjabat sebagai Kapolri.]
--------
Kasihan Jokowi.. dulu disambut dengan elu-elu dan sukacita, kini, lepas 100 hari pemerintahannya, ia begitu gamang dengan caci maki dari berbagai penjuru.
Menjadi pemimpin memang tidak mudah. Apalagi menjadi pemimpin boneka yang digerakkan oleh banyak kepentingan. [par/fs]
0 Response to "Layakkah Jokowi Dilengserkan dan Dicacimaki Rakyat Indonesia?"
Post a Comment