Dari segi hukum, mufaqarah punya tiga hukum, yaitu haram, boleh dan wajib. Semua tergantung penyebabnya. Bisa saja haram hukumnya, namun ada juga yang diperbolehkan, bahkan ada juga yang justru wajib hukumnya.
1. Mufaqarah Yang Haram : Tanpa Udzur
Seluruh ulama sepakat mengatakan bahwa termasuk di antara mufaraqah yang diharamkan adalah mufaraqah yang dilakukan oleh seorang makmum tanpa udzur yang syar'i. Artinya, bila mufaraqah dilakukan seenaknya, tanpa ada alasan atau udzur yang syar'i, maka hukumnya haram.
Namun para ulama berbeda pendapat tentang manakala mufaraqah tanpa udzur syar'i itu tetap dilakukan, apakah shalatnya menjadi batal atau tidak. Sebagian ulama berpendapat bahwa shalatnya batal, sedangkan sebagian lagi mengatakan tidak.
a. Shalatnya Batal
Menurut pendapat mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah, selain hukumnya haram, mufaraqah seperti ini juga membatalkan shalat bagi makmum. Sehingga makmum yang melakukan mufaraqah tanpa alasan yang syar'i sama saja dengan membatalkan shalatnya.
Pendapat ini juga merupakan pendapat mazhab Asy-Syafi'iyah dalam versi qaul qadim, serta pendapat sebagian dari ulama mazhab Al-Hanabilah.
Dasarnya terikatnya makmum pada perilaku imam merupakan bagian dari shalat. Maka bila dia membatalkan diri dari mengikuti imam, ikut batal pula shalatnya.
Selain itu juga ada ayat yang melarang seseorang membatalkan amalnya:
وَلاَ تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ
Dan janganlah kamu membatalkan amal-amalmu (QS. Muhammad : 33)
b. Shalatnya Tidak Batal
Namun mazhab Asy-Syafi'iyah versi qaul jadid menyebutkan bahwa sikap seorang makmum yang membatalkan diri dari jamaah shalat tidak membatalkan shalat itu sendiri, walaupun hal itu dilakukan bukan karena adanya udzur yang syar'i. Hal itu juga menjadi pendapat sebagian mazhab Al-Hanabilah.
Namun meski tindakan melepaskan diri dari jamaah shalat tidak membatalkan shalat, tetap saja hukumnya makruh (karihah), yaitu tidak disukai.
Dalil yang mereka gunakan -khususnya dalam mazhab Asy-Syafi'iyah- dalam hal ini adalah bahwa hukum shalat berjamaah itu sendiri hanya sekedar sunnah dan bukan kewajiban. Maka seseorang boleh saja meninggalkan perkara sunnah dari shalat tanpa harus kehilangan sahnya shalat.
Dan sebagian ulama syafi'iyah mengatakan bahwa shalat berjamaah itu hukumnya fardhu kifayah, sehingga tidak mengapa seseorang meninggalkan shalat berjamaah, manakala sudah ada yang melakukannya.
2. Mufaqarah Yang Boleh
Jumhur ulama dari mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa mufaraqah yang dibolehkan adalah mufaqarah yang punya landasan udzur yang syar'i.
Sedangkan mazhab Al-Hanafiyah tidak memberikan ruang bagi mufaraqah yang boleh. Artinya, dalam pandangan mazhab ini, tidak ada mufaraqah yang dibolehkan, meski pun ada udzhur syar'inya.
Dalam pandangan jumhur ulama, diantara contoh udzur syar'i yang membolehkan mufaraqah antara lain bila bacaan imam terlalu lama. Dan mazhab Asy-Syafi'iyah menambahkan satu lagi, yaitu bila imam meninggalkan sunnah maqshudah.
a. Bacaan Imam Terlalu Lama
Jumhur ulama sepakat bahwa di antara udzur syar'i yang membolehkan seorang makmum bermufaraqah adalah bila imam dalam shalat wajib membaca ayat yang terlalu panjang.
Kasus seperti ini dahulu pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, dimana Muadz bin Jabal mengimami shalat Isya' buat kaumnya dengan membaca surat Al-Baqarah. Saat itu Rasulullah SAW pun menegur Muadz.
كَانَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ الْعِشَاءَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى قَوْمِهِ بَنِي سَلَمَةَ فَيُصَلِّيهَا بِهِمْ وَأَنَّ رَسُول اللَّهِ أَخَّرَ الْعِشَاءَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلاَّهَا مُعَاذٌ مَعَهُ ثُمَّ رَجَعَ فَأَمَّ قَوْمَهُ فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ فَتَنَحَّى رَجُلٌ مِنْ خَلْفِهِ فَصَلَّى وَحْدَهُ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالُوا : نَافَقْتَ يَا فُلاَنُ . فَقَال : مَا نَافَقْتُ وَلَكِنِّي آتِي رَسُول اللَّهِ فَأُخْبِرُهُ . فَأَتَى النَّبِيَّ فَقَال : يَا رَسُول اللَّهِ ، إِنَّكَ أَخَّرْتَ الْعِشَاءَ الْبَارِحَةَ ، وَإِنَّ مُعَاذًا صَلاَّهَا مَعَكَ ثُمَّ رَجَعَ فَأَمَّنَا فَافْتَتَحَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَتَنَحَّيْتُ فَصَلَّيْتُ وَحْدِي وَإِنَّمَا نَحْنُ أَهْل نَوَاضِحَ نَعْمَل بِأَيْدِينَا .فَالْتَفَتَ رَسُول اللَّهِ إِلَى مُعَاذٍ فَقَال : أَفَتَّانٌ أَنْتَ يَا مُعَاذُ ؟ أَفَتَّانٌ أَنْتَ ؟ اقْرَأْ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّك الأْعْلَى وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَاللَّيْل إِذَا يَغْشَى وَنَحْوِهَا
Muadz bin Jabal shalat Isya' biasa shalat bersama Rasulullah SAW kemudian pulang ke kaumnya, Bani Salamah, dan shalat (lagi) mengimami mereka. Suatu ketika Rasulullah SAW mengakhirkan shalat Isya' dan Muadz ikut shalat berjamaah, kemudian dia pulang untuk mengimami kaumnya.
Muaz mulai membaca surat Al-Baqarah, sehingga seseorang yang berada di belakang mengundurkan diri lalu shalat sendirian. Usai shalat, orang-orang menuduhnya,"Kamu telah berbuat nifak". Orang itu menjawab,"Saya bukan munafik, tetapi saya mendatangi Rasulullah SAW dan melaporkan kepada beliau".
Orang itu mendatangi Rasulullah SAW untuk mengadu,"Ya Rasulallah, Anda telah mengakhirkan shalat Isya' tadi malam. Dan Muadz ikut shalat bersama Anda. Kemudian dia kembali dan mengimami kami. Tetapi dia membaca surat Al-Baqarah, sehingga Aku mengundurkan diri dan shalat sendirian. Hal itu karena kami kaum pekerja yang menggunakan kedua tangan kami.
Maka Rasulullah SAW pun menoleh kepada Muadz sambil bertanya,"Apakah kamu bikin fitnah wahai Muadz? Apakah kamu bikin fitnah? Cukup baca sabbihisma rabbikal a'la, wassama'i wath-thariq, wassama'i dzatil buruj, wasy-syamsi wadhuhaha, wallaili idza yaghsya dan sepadannya. (HR Bukhari dan Muslim)
b. Mazhab Asy-Syafi'iyah : Imam Meninggalkan Sunnah Maqshudah
Selain alasan di atas, mazhab Asy-Syafi'iyah menambahkan alasan lain yang bisa juga dijadikan landasan untuk mufaraqah dengan imam, yaitu manakala imam meninggalkan sunnah maqshudah.
Contohnya ketika imam meninggalkan tasyahhud awal dan qunut pada shalat shubuh, maka saat itu makmum boleh bermufaraqah dari imamnya.
Al-Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab menuliskan :
وَأَلْحَقُوا بِهِ مَا إذَا تَرَكَ الإِمَامُ سُنَّةً مَقْصُودَةً كَالتَّشَهُّدِ الأَوَّلِ وَالْقُنُوتِ
Mereka menambahkan, yaitu apabila imam meninggalkan sunnah maqshudah, seperti tasyahhud awal dan qunut.
c. Mazhab Al-Hanabilah
Ibnu Qudamah di dalam kitab Al-Mughni menyebutkan tambahan udzur yang membolehkan seorang makmum melakukan mufaraqah dari imamnya :
وَالأَعْذَارُ الَّتِي يَخْرُجُ لأَجْلِهَا مِثْلُ الْمَشَقَّةِ بِتَطْوِيلِ الإِمَامِ أَوْ الْمَرَضِ أَوْ خَشْيَةِ غَلَبَةِ النُّعَاسِ أَوْ شَيْءٍ يُفْسِدُ صَلاتَهُ أَوْ خَوْفِ فَوَاتِ مَالٍ أَوْ تَلَفِهِ أَوْ فَوْتِ رُفْقَتِهِ أَوْ مَنْ يَخْرُجُ مِنْ الصَّفِّ لا يَجِدُ مَنْ يَقِفُ مَعَهُ
Di antara udzur-udzur yang membolehkan seperti masyaqqah karena imamnya terlalu lama, sakit, takut dikalahkan oleh rasa mengantuk sangat parah, atau sesuatu yang merusak shalatnya, atau takut hilangnya harta, atau keluar dari shaf sehingga berdiri sendirian di barisan paling belakang tanpa ada yang menemani.
3. Mufaqarah Yang Wajib
Jumhur ulama sepakat apabila imam batal dari shalatnya, maka mufaraqah itu hukumnya menjadi wajib bagi makmum.
a. Batalnya Imam dalam Shalatnya
Dengan batalnya imam, maka otomatis shalat jamaah pun menjadi rusak. Maka pada saat itu para makmum diwajibkan untuk membatalkan niat mereka dari menjadi makmum dan melepaskan diri dari imam.
Adapun hal-hal apa saja yang dapat membatalkan shalat, di antaranya adalah :
-Kehilangan Salah Satu Dari Syarat Sah Shalat
-Meninggalkan Salah Satu Rukun Shalat
-Berbicara di Luar Shalat
-Bergerak di Luar Gerakan Shalat
-Makan dan Minum
-Mendahului Imam dalam Shalat Jama'ah
-Terdapatnya Air bagi Yang Tayammum
b. Bergesernya Imam dari Kiblat
Bergesernya imam dari arah kiblat termasuk membatalkan shalat, oleh karena itu bila makmum mengetahui hal itu, dia wajib berpisah dari imamnya.
Contoh nyata dari kasus ini misalnya sebelum shalat, imam dan makmum sepakat dalam ijtihad bahwa arah kiblat ke satu titik tertentu. Lalu di tengah shalat, tiba-tiba imam mengubah ijtihadnya dan berbelok menghadap ke arah lain, sementara makmumnya tetap dengan ijtihad yang sebelumnya.
Maka dalam kasus ini, makmum wajib mengundurkan diri dari jamaah shalat itu, karena dalam pandangannya, imam telah batal shalatnya.
Di dalam Mughni Al-Muhtaj menyebutkan :
لَوْ اجْتَهَدَ اثْنَانِ فِي الْقِبْلَةِ وَاتَّفَقَ اجْتِهَادُهُمَا وَصَلَّى أَحَدُهُمَا بِالآخَرِ فَتَغَيَّرَ اجْتِهَادُ أَحَدِهِمَا لَزِمَهُ الانْحِرَافُ إلَى الْجِهَةِ الثَّانِيَةِ وَيَنْوِي الْمَأْمُومُ الْمُفَارَقَةَ وَإِنْ اخْتَلَفَا تَيَامُنًا وَتَيَاسُرًا , وَالتَّغَيُّرُ الْمَذْكُورُ عُذْرٌ فِي مُفَارَقَةِ الْمَأْمُومِ .
Seandainya ada dua orang berijtihad dalam menentukan arah kiblat dan sepakat dengan hasilnya, dan mereka shalat dimana salah satunya menjadi imam, lalu salah satunya mengubah ijtihadnya, maka wajiblah dia berpindah arah sesuai ijtihadnya. Maka mammumnya berniat untuk mufaraqah meskipun keduanya berbeda arah ke kanan dan ke kiri. Dan perubahan ijtihad arah kiblat ini termasuk udzur dalam mufaraqah makmum.
Demikian pula bila yang berubah ijtihad justru si makmum, sementara imam tidak berubah ijtihadnya. Maka kalau mau pindah kiblat, makmum harus memutuskan diri dari imamnya terlebih dahulu, kemudian shalat sendirian menghadap kiblat yang diyakininya.
Wallahu a'lam bishshawab, (pm/rumahfiqih)
0 Response to "Kapan Boleh Hengkang dari Jamaah Sholat?"
Post a Comment