Kontrol demokratis dari parlemen dan civil society terhadap kinerja Jokowi dan kabinetnya, justru diharapkan publik agar pemerintahan tidak menyimpang atau mengalami distorsi.
Oleh sebab itu masuk akal kalau Fraksi PDI Perjuangan diminta untuk mengkritisi program kerja pemerintahan Jokowi-JK. Agar sesuai dengan program Nawacita dan Trisakti Soekarno yang dicita-citakan Jokowi saat kampanye Pilpres 2014. Mampukah Fraksi PDI P dan parlemen melakukannya?
Cendekiawan Universitas Paramadina Yudi Latif mengingatkan belum genap seratus hari pemerintahannya, harian bergengsi The New York Times, 17 Januari 2015, melukiskan nasib sang Presiden dalam nada Serat Kalatidha. Bahwa bagi rakyat Indonesia, derajat kepemimpinan negara telah kehilangan "kilaunya" ("For Indonesians, Presidents Political Outsider Status loses Its Lustre").
Yudi Latif juga menilai bahwa independensi Jokowi pengusung revolusi mental ini mengalami kegagalan mentalitas, seperti tercemin dari serangkaian penyangkalan terhadap ide-idenya sendiri.
Gagasan koalisi ramping demi kehebatan pemerintahan dirobohkan oleh susunan kabinet dan staf kepresidenan yang sarat kepentingan, menampilkan kombinasi menteri-menteri berkualitas rendah dan bertanda merah.
"Orientasi kerakyatan dihela dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) saat harga minyak dunia turun. Visi pemerintahan bersih dan peradilan independen dinodai dengan mengangkat jaksa agung dari kalangan partisan," ungkap Yudi Latif.
Presiden juga menerobos batas kepantasan dengan membentuk Dewan Pertimbangan Presiden yang didominasi orang-orang partai, dengan kualitas kenegarawanan yang jauh dari semangat asal dan asasi Dewan Pertimbangan Agung.
Batas etis juga dilanggar dengan mengajukan calon tunggal Kapolri bertanda merah dengan rekam jejak pelanggaran yang sudah terpublikasikan. Malahan seratus hari pemerintahan Jokowi ditutup dengan sengketa KPK versus polisi, dengan posisi dan jawaban Jokowi yang ambigu dan tidak meyakinkan.
Akibatnya, rakyat kecewa dan seakan kehilangan harapan. Mampukah parlemen dan PDIP sebagai partai pengusung Jokowi mengawal dan mendukung janji kampanye Jokowi untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat?.
Jika tetap konsisten pada program Nawa Cita dan Trisakti Soekarno yang dijanjikan Jokowi, maka tak perlu terjadi keraguan publik pada Presiden, dan PDI P bersama pemerintah serta civil society mustinya bahu-membahu mengontrol Jokowi dan membantunya mengatasi persoalan dengan gagasan dan solusi.
Itupun kalau Jokowi dan kabinetnya terbuka bagi solusi dan masukan kritis dari publik. Jokowi bukan Dewa atau Ratu Adil, itu kita tahu. Namun istana harus membuka diri bagi siapapun yang hendak membaktikan pikiran dan tenaganya untuk mencari solusi atas berbagai karut-marut politik, hukum dan ekonomi di negeri ini. Agar kepercayaan rakyat bisa pulih dan kita bisa melihat cahaya di ujung terowongan sana. [inilah]
Oleh sebab itu masuk akal kalau Fraksi PDI Perjuangan diminta untuk mengkritisi program kerja pemerintahan Jokowi-JK. Agar sesuai dengan program Nawacita dan Trisakti Soekarno yang dicita-citakan Jokowi saat kampanye Pilpres 2014. Mampukah Fraksi PDI P dan parlemen melakukannya?
Cendekiawan Universitas Paramadina Yudi Latif mengingatkan belum genap seratus hari pemerintahannya, harian bergengsi The New York Times, 17 Januari 2015, melukiskan nasib sang Presiden dalam nada Serat Kalatidha. Bahwa bagi rakyat Indonesia, derajat kepemimpinan negara telah kehilangan "kilaunya" ("For Indonesians, Presidents Political Outsider Status loses Its Lustre").
Yudi Latif juga menilai bahwa independensi Jokowi pengusung revolusi mental ini mengalami kegagalan mentalitas, seperti tercemin dari serangkaian penyangkalan terhadap ide-idenya sendiri.
Gagasan koalisi ramping demi kehebatan pemerintahan dirobohkan oleh susunan kabinet dan staf kepresidenan yang sarat kepentingan, menampilkan kombinasi menteri-menteri berkualitas rendah dan bertanda merah.
"Orientasi kerakyatan dihela dengan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) saat harga minyak dunia turun. Visi pemerintahan bersih dan peradilan independen dinodai dengan mengangkat jaksa agung dari kalangan partisan," ungkap Yudi Latif.
Presiden juga menerobos batas kepantasan dengan membentuk Dewan Pertimbangan Presiden yang didominasi orang-orang partai, dengan kualitas kenegarawanan yang jauh dari semangat asal dan asasi Dewan Pertimbangan Agung.
Batas etis juga dilanggar dengan mengajukan calon tunggal Kapolri bertanda merah dengan rekam jejak pelanggaran yang sudah terpublikasikan. Malahan seratus hari pemerintahan Jokowi ditutup dengan sengketa KPK versus polisi, dengan posisi dan jawaban Jokowi yang ambigu dan tidak meyakinkan.
Akibatnya, rakyat kecewa dan seakan kehilangan harapan. Mampukah parlemen dan PDIP sebagai partai pengusung Jokowi mengawal dan mendukung janji kampanye Jokowi untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat?.
Jika tetap konsisten pada program Nawa Cita dan Trisakti Soekarno yang dijanjikan Jokowi, maka tak perlu terjadi keraguan publik pada Presiden, dan PDI P bersama pemerintah serta civil society mustinya bahu-membahu mengontrol Jokowi dan membantunya mengatasi persoalan dengan gagasan dan solusi.
Itupun kalau Jokowi dan kabinetnya terbuka bagi solusi dan masukan kritis dari publik. Jokowi bukan Dewa atau Ratu Adil, itu kita tahu. Namun istana harus membuka diri bagi siapapun yang hendak membaktikan pikiran dan tenaganya untuk mencari solusi atas berbagai karut-marut politik, hukum dan ekonomi di negeri ini. Agar kepercayaan rakyat bisa pulih dan kita bisa melihat cahaya di ujung terowongan sana. [inilah]
0 Response to "Jokowi Telah Kehilangan Kilaunya"
Post a Comment