Lagi Tentang Mafia Beras
Oleh Andi Irawan
(Dosen Pascasarjana Program Agrobisnis Universitas Bengkulu)
Kenaikan harga beras selama 2-3 pekan terakhir memang tidak biasa. Di ibukota, merujuk Pasar Induk Cipinang telah terjadi lonjakan harga mencapai 30 persen hanya dalam 2 minggu. Lonjakan harga tersebut bersifat anomali karena disinyalir baru pertama kali ini terjadi sepanjang pengalaman para pedagang beras sejak jaman Orde Lama sampai sekarang. Untuk beras paling murah (IR2) naik dari Rp 8.500 menjadi Rp 11.000 per kilogram dan kualitas IR1 dari Rp 9.500 menjadi Rp 12.000 per kilogram. Sedangkan untuk kelas premium dari Rp 10 ribu menjadi Rp 13 ribu per kilogram. Dan bukan hanya Jakarta kota-kota lain di seluruh Indonesia juga mengalami kenaikan harga beras yang cukup tajam sekitar Rp 1.000- Rp 2.000 per kilogramnya.
Melihat fenomena tersebut timbul dua pandangan yang berbeda; yang pertama, pandangan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Perdagangan (Mendag). Bagi Mendag kenaikan harga tersebut adalah tidak wajar. Mendag, Rachmat Gobel menganggap kenaikan harga beras di Jakarta dipicu dari motif bisnis para mafia beras. Menurut Gobel para mafia ini memainkan harga beras agar pemerintah terpaksa membuka keran impor sehingga ada peluang keuntungan. Hal ini disampaikan Gobel di depan pelaku usaha dan para pakar ekonomi di Gedung Auditorium Utama Kementerian Perdagangan, Jakarta (23/02/2015).
Pernyataan Mendag tersebut tentu punya alasan yang kuat karena bukan mustahil kenaikan harga yang terjadi karena kelangkaan yang sengaja dibuat (kelangkaan artifisial) dalam rangka berburu rente. Kita tahu harga beras Thailand dan Vietnam di pasar internasional berkisar Rp 4000 per kilogram. Beras serupa jika dijual di dalam negeri menjadi Rp 7.400 per kilogram atau ada rente ekonomi sebesar Rp 3.400 per kilogram.
Alasan Mendag lainnya adalah kejanggalan dalam sistem distribusi beras di Jakarta. Pasalnya, sejak Desember 2014 hingga Januari 2015, Bulog telah menggelar Operasi Pasar sebanyak 75 ribu ton yang digelontorkan kepada pengelola pasar Cipinang, PT Food Station, dengan harga gudang Rp. 6.800. Dari harga tersebut, kata Mendag, seharusnya pedagang menjual kepada konsumen dengan harga Rp 7.400 per kilogram. Namun nyatanya, tidak ada pedagang yang menjual beras dengan harga itu. Padahal, dengan menjual Rp 7.400 per kilogram, kata Mendag, pedagang sudah untung Rp 600 per kilogram. Mendag menduga ada yang melakukan penimbunan beras. (Tempo.co 21/2).
Disamping itu pemerintah juga telah menemukan adanya delivery order (DO) yang dipesan oleh pedagang beras di Cipinang pada 1-18 Februari 2015. Jumlahnya mencapai 1.800 ton beras. Padahal Bulog sudah tidak melakukan Operasi Pasar untuk ke Pasar Induk Cipinang sejak 1 Februari. Mendag Gobel juga sempat menemukan kasus beras Operasi Pasar Bulog yang dioplos di Cakung, Jakarta Timur pada 18 Januari 2015 lalu.
Berbeda dengan pemerintah, bagi para pedagang kenaikan harga yang anomali saat ini adalah sesuatu yang wajar. Hal itu karena memang suplai lagi menyusut karena musim pakceklik masih berlangsung. Panen raya baru akan dimulai Maret nanti. Indikatornya mudah yakni melihat jumlah beras yang masuk ke Pasar Induk Cipinang. Dalam keadaan normal beras yang masuk berjumlah 3.000 ton sedangkan saat ini menyusut 50 persen (1.500 ton). Artinya tidak benar kelangkan yang terjad karena adanya mafia beras. Kelangkaan tersebut bagi para pedagang adalah kelangkaan alamiah akibat berkurangnya suplai.
Tentu kita berharap pemerintah sebagai representasi Negara yang harus mengatasi masalah kelangkaan beras ini. Pemerintah bisa melakukan intervensi dalam dua hal. Pertama, intervensi pasar dengan mengintruksikan Bulog di seluruh Indonesia untuk melemparkan stok beras yang mereka miliki ke pasar dalam rangka menekan harga sampai pertengahan Maret saat panen raya tiba.
Hal ini penting dilakukan untuk memberikan ekspetasi pasar bahwa benar pemerintah punya kekuatan stok yang memadai untuk stabilisasi harga. Dengan demikian bisa menghilangkan perilaku pihak-pihak yang ingin memanfaatkan kelangkaan beras di pasar untuk kepentingan perburuan rente.
Kedua, Jika kelangkaan itu adalah kelangkan artifisial yang ilegal seperti karena penimbunan dan pengoplosan yang merugikan masyarakat, pemerintah harus menindaknya. Kemendag bekerja sama dengan polisi dan badan inteligen nasional untuk mengusut pelaku-pelaku yang disinyalir sebagai mafia beras tersebut. Tidak selayaknya pejabat-pejabat berwenang beropini tentang keberadaan mafia beras saat harga komoditas penting ini melonjak tajam tetapi tidak pernah berhasil membuktikan siapa mereka dan menindak serta menghilangkan perilakunya.
Undang-undang no 7 tahun 2014 tentang Perdagangan memberikan wewenang penuh pada pemerintah untuk melakukan penindakan terhadap perilaku seperti manipulasi informasi dan penimbunan persediaan bahan pokok (pasal 30 dan Pasal 29 ayat 1). Bahkan menghukum perilaku yang sedemikian dengan sangsi pidana yang cukup berat dengan pidana 5 tahun atau denda 50 miliar bagi mereka yang terbukti melakukan penimbunan dan penjara 4 tahun dan atau denda 10 miliar bagi mereka yang melakukan manipulasi data dan informasi persediaan bahan kebutuhan pokok.[]
Sumber: Media Indonesia (27 Februari 2015)
0 Response to "Lagi Tentang Mafia Beras"
Post a Comment