Gejala Tiranisme Jokowi & "Kekuatan Besar" dibalik Kekuatan Resmi Negara


Oleh Canny Watae

Sedikit demi sedikit mulai nampak gejala tirani di negeri ini. Wiktionary dot org memberi makna tirani sebagai:

- kekuasaan yang digunakan sewenang-wenang;
- negara yang diperintah oleh seorang raja atau penguasa yang bertindak sekendak hatinya.

Wiktionary memberi penjelasan tambahan: “di bawah pemerintahan yang bersifat tirani, kedaulatan rakyat akan hilang”.

Dalam sejarah dunia, tirani tidak terbentuk sekejap. Ia terbentuk secara bertahap, pelan-pelan, sambil mendapat simpati rakyat, lalu ketika cengkeraman kekuasaan telah mutlak, ia menjadi sangat sewenang-wenang, pada posisi mana rakyat sudah sangat terlambat untuk melawan.

Contoh tirani adalah pemerintahan Adolf Hitler, Jerman, di dekade 30-an. Berhasil meraih simpati rakyat yang sedang hidup susah akibat kalah perang (Perang Dunia I), Hitler tumbuh menjadi penguasa bersifat mutlak yang kelak membawa Jerman kembali ke kehancuran. Mana kala kekuasaannya sudah sangat mutlak, menjadi terlambat bagi Jenderal-Jenderal Jerman yang terkenal sebagai militer aristokrat-profesional untuk menghentikannya. Padahal, penguasaan ilmu kemiliteran yang pernah didapat Hitler hanyalah ilmu level Kopral. Dalam kemiliteran Jerman, ia hanya mencapai pangkat Kopral.

Tirani berikutnya yang dapat dijadikan contoh adalah tirani Kim di Korea Utara. Berawal dari semangat perjuangan kemerdekaan Korea Utara (yang didukung rakyat), sekarang tirani Kim sudah masuk ke generasi ketiga. Dan generasi ketiga ini luar biasa kejamnya. Paman sendiri dihukum mati dengan cara dijadikan mangsa anjing-anjing kelaparan. Apa yang diucapkan Kim (Joung Un) adalah hukum. Militer negara secara mutlak berada di bawahnya dan dipergunakan seluas-luasnya untuk mengawetkan kekuasaan. Rakya Korut hidup melarat sembari wajib menyembah sang pemimpin.

Tirani selalu diawali satu-dua orang saja, selanjutnya mengawetkan kekuasaannya bersama segelintir orang lain dalam sebuah klub “elit”, namun centrum kekuasaan tetap berada pada satu orang. Di bawah mereka ada pelaksana-pelaksana Negara yang tidak punya pilihan lain selain patuh dan menjalankan perintah. Para Pelaksana Negara itu (kabinet, militer,polisi, parlemen) tersandera karir dan keamanan hidup mereka dan keluarga. Mereka pada dasarnya adalah orang-orang baik. Status tersandera tirani membuat kebaikan mereka bersembunyi jauh-jauh di dasar hati.

Dua-tiga bulan terakhir sangat terasa gejala tiranisme di Negeri kita. Terasa ada kekuatan besar di balik kekuatan resmi Negara. Kekuatan besar ini terlihat berkuasa di atas kekuasaan formal yuridis Negara. Manuver kekuatan besar itu telah sedemikian rupa sehingga Parlemen pun terabaikan.

Dalam pembuatan kebijakan penarikan subsidi BBM beberapa waktu lalu, Parlemen dikesampingkan. Padahal, anggaran negara (yang di dalamnya mengandung asumsi harga BBM) disusun bersama dan melalui persetujuan Parlemen. Yang lebih parah, Parlemen sempat diacuhkan kalangan eksekutif dengan dalih Parlemen sedang kisruh. Parahnya lagi, kekisruhan dalam Parlemen sedikit banyak terjadi karena campur tangan kekuatan extra-parlemen (luar parlemen).

Masih ingat kisruh di beberapa parpol yang resultannya mengarah ke terciptanya dualisme kepemimpinan dalam partai-partai itu? Lagi-lagi terasa adanya “forced power” atau kekuatan paksaan yang mengobok-obok partai-partai itu. Tujuannya mudah dibaca oleh orang awam politik sekalipun: lemahkan dan ambil alih.

Yang terbaru adalah penggantian Kapolri. Inti cerita bukan di soal pergantiannya melainkan pada “bunga-bunga”nya. Kapolri diganti kapan saja dengan sebab apa saja adalah hak Presiden sebagai “user”. Bunga-bunganya adalah: calon yang diajukan mendapat status Tersangka dari lembaga anti-rasuah. Yang terjadi adalah pemberian status Tersangka pada individu-individu di dalam lembaga anti-rasuah tersebut.

Oke, hukum memang harus ditegakkan. Konstitusi menggariskan semua warga bersamaan kedudukaannya di dalam hukum (yang berarti pula tiada satu warga negara pun yang boleh diistimewakan kedudukannya di dalam hukum). Tetapi, penyematan status Tersangka kepada individu-individu dalam lembaga anti-rasuah terjadi secara massal dan nyaris seketika. Mulai dari para Komisioner sampai pada detasemen penyelidik di dalamnya. Kasus yang disangkakan beragam dan umumnya peristiwa yang disangkakan terjadi sebelum mereka berada dalam lingku lembaga anti-rasuah.

Saya tidak menyalahkan para petugas Negara di dalam institusi Kepolisian. Mereka bekerja di dalam sistem. Mereka punya karir di sana. Mereka mencari nafkah di sana. Dan mereka wajib patuh pada atasan. Mereka hanya menjalankan tugas yang diperintahkan. Diperintahkan? Ya, tidak ada Polisi yang masuk menyelidik hak hukum warga negara jika tidak diperintahkan. Kita salahkan pemberi perintah? Tidak, kita mesti jernih melihat siapa “prime governor” di atasnya. Siapa pemberi perintah utama. Terasa sekali, siapa pun pemberi perintah utama itu, dia ter-“forced by other power”. Ada kekuatan besar yang bisa jadi dari luar institusi yang tak kuasa internal institusi menolaknya.

Kita harus bersama berupaya mengenyahkan tirani dari Negeri ini. Mumpung masih gejala, sebelum kita semua terpedaya menjadi tak berdaya. Saya salut pada Pak Harto. Cap tirani yang bergaung di masa kekuasaannya dibilas dalam sehari dengan pengunduran diri sebagai Presiden RI tatkala rakyat banyak menuntutnya mundur. Pak Harto menunjukkan diri ia bukan tirani. Dia masih mendengar suara rakyatnya.

Saya akan salut pada Joko Widodo jika ia bisa menjauhkan gejala tiranisme ini dari rezim pemerintahannya. Dan Joko Widodo ini harus dibantu oleh seluruh rakyat Indonesia untuk mengenyahkan gelaja-gejala tirani yang mulai timbul. Kita jangan membiarkan dia terjebak untuk kemudian menikmati tiranisme.[]


0 Response to "Gejala Tiranisme Jokowi & "Kekuatan Besar" dibalik Kekuatan Resmi Negara"

Post a Comment