Jokowi dan Manuel Vicente - Foto : Andhika Wahyu (Antara) |
Hari itu, Jumat, 31 Oktober 2014, Jokowi didampingi sejumlah menteri kala bertemu perwakilan Angola. Pendamping Jokowi kala itu adalah Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, dan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto.
Nantinya, Indonesia akan diwakili PT Pertamina (persero) akan membeli minyak dari perusahaan minyak nasional Angola, Sonangol EP. Sudirman mengungkapkan, Indonesia bisa menghemat US$ 2,5 juta atau sekitar Rp30 miliar per hari jika rencana pembelian minyak dari Angola ini bisa dilaksanakan.
Kesepakatan Pertamina dan Sonangol EP, tak hanya soal pembelian minyak, namun juga menyepakati kerja sama perminyakan yang meliputi perdagangan, pembangunan kilang, dan bidang hulu sehingga memungkinkan Pertamina mengoperasikan lapangan (minyak) di luar negeri.
"Pertamina dan Sonangol bersama-sama membangun kilang. Kita akan membuat perusahaan joint venture," jelas Sudirman, kala itu.
Kisah BBM, Jokowi, dan Angola ini kian menarik ketika ada pengakuan dari Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Bermula dari informasi yang menyebut, Surya Paloh adalah pembisik utama nama Sonangol EP ke telinga Jokowi. Benarkah?
Pendiri Partai Nasdem ini tak menampik. Ia mengakui menyarankan Presiden Jokowi agar Pertamina bekerjasama dengan Sonangol.
"Tapi saran kecil saja," ujar Surya di Kantor Partai Nasdem, Jakarta, Kamis, 6 Novemb.er 2014.
Surya mengatakan, saran itu bertujuan membantu pemerintah baru agar bisa menghemat dari impor minyak. Maklum, selama ini Pertamina mengimpor minyak melalui pihak ketiga atau trader alias tidak membeli minyak langsung ke produsennya.
Akibatnya, kata dia, impor minyak jadi mahal dan memberatkan negara. Kalau Indonesia bisa langsung membeli bahan bakar minyak (BBM) ke produsen langsung, Surya Paloh yakin biaya impor bisa ditekan.
"Seperti yang dilaksanakan dengan Sonangol, itu baik," kata Surya.
Meski pertemuan Pertamina dan Sonangol difasilitasi PT Surya Energi Raya, sebuah perusahaan energi miliknya, Surya Paloh membantah punya kepentingan bisnis dalam impor minyak Angola tersebut.
"Saya hanya memperkenalkan mereka. Setelah itu tak ada hubungan lagi," kata dia.
Langkah Jokowi bekerja sama langsung dengan Angola itu tentu akan mempengaruhi peran Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) dalam proses impor minyak. Petral adalah anak perusahaan Pertamina yang berbasis di Singapura serta bertugas menangani impor minyak mentah dan BBM untuk perusahaan minyak dan gas negara.
Pertamina sudah menampik tuduhan yang menyebut bahwa Petral memperpanjang proses impor BBM sehingga pada akhirnya mengakibatkan kenaikan harga BBM. Pertamina mengklaim bahwa keuntungan yang diperoleh oleh Petral juga akan bermuara sebagai keuntungan negara.
Pertamina juga mengungkapkan, sejak 2012 Pertamina telah membeli produk BBM dan minyak langsung dari produsen luar negeri. Artinya, sejak tahun itu, Pertamina sudah berhenti membeli minyak dari pedagang.
Menanggapi soal penunjukan Sonangol EP, Pelaksana Tugas Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Muhamad Husen mengaku tidak mengetahui mengapa pemerintah meminta Pertamina untuk bekerjasama dengan Sonangol EP, Perusahaan minyak asal Angola terkait impor BBM.
"Kami juga enggak tahu," ujar Muhamad Husen di Jakarta, Minggu 9 November 2014.
Secara terpisah, anggota Komisi XI Muhammad Misbakhun meragukan kerjasama Pemerintah dengan Sonangol EP. Terutama soal pemberian diskon sebesar 15 %.
"Terus terang saya meragukan karena harga minyak di dunia selalu mengikuti harga pasaran. Ada term and condition, kemudian ada biaya angkut dan sebagainya. Dan harus diingat, diskon 15 persen itu besar sekali," katanya saat ditemui di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat 28 November 2014.
Menurutnya, ide dan gagasan dari perusahaan Sonangol EP itu menarik untuk mencari jalan keluar terhadap sistem rente pedagangan minyak dunia yang seharusnya bersifat Government to Governmnent atau ’G to G’. Artinya, kalau memang benar ada diskon 15 persen dari Sonangol, maka dampaknya harga minyak yang dikonsumsi di Indonesia menjadi lebih murah.
Namun, kata Misbakhun yang perlu ditegaskan bahwa kerjasama ini harus benar-benar dilakukan secara G to G melalui Pertamina, jangan lagi melalui pihak ketiga seperti Surya Energi, apalagi Petral.
"Transparansi itu penting. Lakukan secara Goverment to Government. Jangan pakai operator lapangan lagi. Kalau akhirnya pemerintah melalui orang ketiga, seperti Surya Energi maka itu yang namanya mafia ganti mafia," sambungnya.
Lebih lanjut, Misbhakun mengibaratkan bahwa para politisi dari partai berkuasa saat ini sedang mengelilingi Presiden Jokowi. Mereka seolah mendapatkan jalan khusus untuk mendapatkan berbagai proyek di negara ini. Partai seolah balas dendam dengan memborong semua proyek yang ada.
"Dulu kamu yang berkuasa, sekarang giliran aku yang berkuasa. Karena saat ini partaiku yang berkuasa," analogi politisi Partai Golkar tersebut.
Dengan demikian wacana mensejahterakan rakyat melalui pola kerjasama dengan Sonangol EP tak lebih hanya merupakan upaya memperkaya partai penguasa. [*]
0 Response to "Tunjuk Sonangol, Bukti Jokowi Perkaya Mafia Migas dan Partai Penguasa?"
Post a Comment