KESAKSIAN Orang Syiah Yang Menyusup ke Indonesia



Oleh Iqbal Aji Daryono

Dua hari terakhir, beberapa akun Fesbuk dan media-media sejenis mengabarkan masuknya para pengungsi Afghanistan ke Balikpapan dan Pekanbaru.

Anehnya, para pengungsi itu tidak tampak sebagaimana "lazimnya" pengungsi. Semua adalah para lelaki usia muda, bukan manula, apalagi wanita dan anak-anak. Mereka juga tidak membawa paspor! Aneh. Aneh sekali.

Tapi segala misi mereka terkuak sudah, ketika orang-orang itu kepergok melakukan doa bersama, "Yaa Husain, ya Husain.." di penampungan imigrasi.

SIAPA MEREKA? MENGAPA MEREKA KE INDONESIA?

***

Man-teman, ini foto saya bersama sahabat saya di dock armada truk Foxline, Bassendean, Western Australia. Dia sopir jurusan Maddington. Tahun lalu saya pernah cerita tentang dia, tapi pasti banyak yang belum baca.

Namanya Abdul Wahid Rahimi, di Fesbuk cuma pakai nama Wahied Rahimi. Adul, dia minta dipanggil begitu. Umurnya 27 tahun, asli dari Afghanistan.

Lima tahun silam, Adul mecah tabungannya dan menjual kios onderdil mobilnya di Kabul. Dapat duit 8000 dolar dari situ, Adul pun bisa bergabung dengan 43 pemuda Afghan lain, untuk berangkat ke Islamabad, Pakistan.

Tiba di Pakistan, Adul dan kawan-kawan mendatangi kedutaan besar Malesia. Di sana mereka apply visa kerja. Dapat. Maka terbanglah ke-44 pemuda pemberani itu ke Malesia.

Sesampainya di Malesia, bukan pekerjaan yang mereka cari, melainkan perahu kecil dan pemandu jalan laut. Dengannya mereka menembus batas laut, dan masuk ke Endonesa.

Jangan ge-er dulu. Mereka bukan mau tinggal di Endonesa, sebab Ostrali-lah tujuan mereka sebenarnya. Jika berhasil sampai ke Ostrali dan diberi suaka sebagai pengungsi, mereka bisa hidup di sini dengan kondisi yang jauh lebih baik daripada di tanah kelahirannya.

Adul pada akhirnya sukses berlabuh di Darwin, dan diterima oleh rezim Kevin Rudd pada waktu itu. Si Kevin memang nyah-nyoh (gampangan -ed) sama pengungsi dari berbagai belahan dunia. "Kevin Rudd is perfect!!" kata kawan saya lainnya sesama Afghan, Aryan Malekzadeh, sembari mengumpati Toni Abbot yang berkebalikan dengan pendahulunya.

Tapi perjalanan Adul bukan lantas mulus-mulus saja. Dia sempat tertahan lama di Endonesa, karena perahunya tertangkap polisi Endonesa di perairan Kupang. Maka, selama sekitar enam bulan Adul cs. ngurus ini-itu, ketemu orang UNHCR, ketemu para agen gelap penyelundup pengungsi, yang membawa Adul berkelana dari Kupang ke Jakarta, ke Medan, dan entah ke kota mana lagi.

Ketika jalan 'ukhuwah' akhirnya ditempuh dengan ngasih anyep-anyep 3000 dolar per kepala (alias Rp 30 juta x 44) buat Toewan Inspektur Polisi di Kupang, mereka pun akhirnya bisa lepas dari Endonesa, dan masuk ke Ostralia.

***

Ada ribuan orang semacam Adul yang lari dari Afghanistan untuk merengkuh tanah impian, Ostralia. Banyak yang bernasib baik seperti Adul dan Aryan. Tapi tak sedikit juga yang apes.

Mereka yang apes itu tertahan di banyak kota di Endonesa. Nggak cuma di Balikpapan dan Pekanbaru. Pacar Hussain Hazara, misalnya, sampai sekarang mangkrak nasibnya di Bogor tanpa kejelasan masa depan.

Musabab mereka tertahan itu bermacam-macam. Ada yang ditipu agen penyelundup, ada yang kehabisan uang sehingga nggak bisa ngasih 'permen' ke pemegang otoritas perbatasan, dan lain-lain.

Yang jelas, nyaris nggak ada yang dideportasi ke Afghanistan. Sebab mereka semua sudah pintar, dengan memusnahkan paspor masing-masing begitu meninggalkan Malesia.

Asal tahu saja, tertahan di Endonesa dalam kondisi nggak jelas bisa jadi jauh lebih baik buat orang-orang itu. Sebab, kembali ke Afghanistan nyaris sama artinya dengan setor nyawa.

Ya, Afghanistan dikuasai etnis Pashtun, yakni etnisnya Taliban, sementara para pengungsi berasal dari etnis minoritas Hazara yang Syiah. Puluhan tahun sudah, orang-orang Hazara dinista orang Pashtun karena dua hal: perbedaan karakter fisik (orang Hazara agak-agak Mongoloid), dan perbedaan mazhab keyakinan. Orang Hazara memang sudah berabad-abad menganut mazhab Syiah.

***

Adul kini sudah sukses. Meski kami sesama sopir, tapi truk yang dia kemudikan sudah milik dia sendiri. Dia membelinya dari Nelson, pemilik truk itu sebelumnya, dengan harga 43.000 dolar. Tentu Adul membayarnya secara kredit, pakai uang muka hasil dia bekerja sebagai pemetik anggur di Margareth River.

Meski kredit ke bank, hasil kerja Adul cucuk. Per bulan sekarang dia bisa dapat hasil bersih 5000 dolar, lebih besar dari sangu-nya buat Pak Pulisi Endonesa pada waktu itu.

Minggu lalu, wajah Adul begitu riang. Dia bercerita bahwa mungkin pekan depan seremoni peresmian dirinya sebagai warga negara Ostralia akan dilaksanakan. Selama ini status dia adalah pemegang visa permanen, belum citizen.

Menjadi warga negara Ostralia bagi Adul sangatlah penting. Berbekal status itu, dia bisa mengundang istri dan anaknya yang sampai sekarang masih mrongos menunggu di Kabul. Dengan undangan dari seorang warga negara, anak dan istri Adul bisa masuk ke Ostrali secara legal.

Itulah kenapa para manusia perahu adalah pemuda-pemuda usia produktif. Mereka bertugas "membuka jalan", sehingga pada saatnya nanti keluarga mereka bisa ditarik ke Ostralia secara legal, nyaman, murah, dan tak perlu pakai acara bakar-bakar paspor segala.

***

Demikianlah. Kebenaran telah terkuak. Sudah jelas dan terang benderang, kenapa orang-orang Afghanistan yang membaca pujian "Yaa Husain, yaa Hussain.." itu, yang nggak punya paspor itu, yang masih muda-muda itu, pada masuk ke Indonesia. Mereka cuma pengungsi yang tertahan di Indonesia, dalam perjalanannya menuju Australia. Tak lebih dari itu.


0 Response to "KESAKSIAN Orang Syiah Yang Menyusup ke Indonesia "

Post a Comment