Turki, ISIS, dan Indonesia



Oleh Arya Sandhiyudha
Kandidat Doktor Ilmu Politik dan Hub. Internasional, Fatih University, Turki
   
Saya baru saja silaturahim dengan keluarga dari WNI yang hilang di Turki. Dari jumlah yang disebut keluarga yang saya kunjung, ada 6 anggota keluarga besar mereka. Keenam anggota keluarganya tersebut masuk ke dalam rombongan 16 pertama yang hilang, setelah ada 16 WNI lainnya yang baru ditemukan di Gaziantep, Turki. Duduk berbincang di rumah mereka di Solo, saya merasakan suasana kehilangan mereka, juga dampak tidak langsung dari pemberitaan ISIS kepada mereka. Dalam sisi ini empati diperlukan agar kita semua juga lebih bijak menyerahkan kesimpulan tentang ‘motif’ WNI yang hilang tersebut (gabung ke ISIS atau tidaknya) ke pihak berwenang. Terlebih perwakilan RI di Turki, KBRI Turki, selama ini memang terpercaya dan peduli terhadap WNI-nya, mereka terbiasa proaktif datang ke kota-kota se-Turki untuk bertemu.

Konteks lain yang juga terdampak adalah jika pemberitaan ini tidak memahami konteks yang factual tentang Turki, ISIS, dan Indonesia, maka akhirnya cenderung melihat pelajar/mahasiswa dan WNI di Turki itu sangat potensial menjadi radikal. Di sini perlunya pemahaman thd 3 konteks : Turki, ISIS, dan Indonesia; untuk menjawab apakah tanah Turki itu gembur untuk membuat ISIS subur?

Karakter LAST pada Muslim Turki

Konteks Turki yang dijelaskan kebanyakan narsum/pengamat sayangnya kurang tepat. Ia seakan diidentikkan dengan dunia Arab atau TimurTengah-AfrikaUtara pada umumnya. Padahal, ada karakter utama warga Turki yang eksis sampai saat ini, diantaranya “LAST”. Ini yang memperjelas Islam di Turki punya keunikan tersendiri, yaitu Laicism/Sekulerism, AtaTurkism, Sunni, Turkism.     Jadi, LAST ini, pertama, seagamis apapun ia akomodatif terhadap modernisme dan sekulerisme. Gerakan-gerakan yang diametral dengan ide-ide demokrasi tidak laku. Itu Laicism. Pun sejak dipimpin partai berhaluan Islam, AKP (Adalet ve Kalkinma Partisi/Partai Keadilan Pembangunan) sekulerisme itu hanya berubah pendekatan dari sekulerisme asertif menjadi sekulerisme pasif. Adapun dalam data bila ada warga Turki gabung ke ISIS, terhitung sedikit bila dilihat dari jarak geografis yang tetangga-dempet dari Iraq dan Suriah yang merupakan wilayah dimana ISIS berada.   

Kedua, seagamis apapun, warga Turki masih menghormati Kemal AtaTurk -minimal dalam bentuk penghormatan warisan-warisan pendirian Republik Turki yang positif. Tidak aneh kalau kita dengar nama (misal) Erdogan, Mustafa Kemal Ataturk, dan Fatih Sultan Mehmet, ditaut dalam satu paket slogan yel-yelan.     Tidak ditempatkan kontradiktif, tapi komplementatif.

Ketiga, ‘Sunni’ adalah identitas kolektif yang maknanya lebih sebagai ‘penanda’ identitas, karena warga Syi’ah tetap ada di Turki dengan istilah Alevi (Alawiyah), hubungan dagang dengan Iran tetap baik. Adapun sikap tegas Turki terhadap rezim Bashar Assad bukan dilandasi isu Sunni vs Syi'ah, tapi kesadaran geopolitik Turki melihat tetangganya, melancarkan proyek brutal sebagai rezim yang menindas warganya sendiri.   

Keempat, Turkisme, juga jadi karakter homogen yang membuat kita akan sulit membayangkan ada orang Turki yang berkenan dipimpin Khilafah ISIS yang asal non-Turki (Arab).   

Destinasi Wisata dan Kemanusiaan

Kasus hilangnya wisatawan ke Turki ini dapat dilihat dari sisi lain, bahwa Turki termasuk negeri teraman untuk belajar, wisata, maupun dagang. Pengetatan visa secara berlebihan tidak boleh sampai menghambat perkembangan hubungan baik bilateral Indonesia-Turki yang tengah progress.   

Atas dasar konteks Turki itupula, pelajar dan WNI di Turki tidak layak dikaitkan/dicurigai. Kebanyakan masalah bukan dari yan mukim di Turki. Terutama ketika disebut Gaziantep. Jangan kaitkan ISIS yang musuh kemanusiaan dengan pelajar dan WNI di Gaziantep yang justru garda terdepan bantuan kemanusiaan. Mereka tulus tekun menjadi mitra LSM-LSM yang antar bantuan Indonesia ke pengungsi Suriah via jalur resmi/legal Selalu tertib procedural bekerjasama dengan yayasan dan otoritas setempat di Turki. Seperti jalur bantuan kemanusiaan yang juga merupakan jalur legal seperti di Hatay, Reyhanli - Cilvegözü dan Kilis - Karkamış.   

Kasus WNI hilang ini jangan sampai membuat kita mengurangi misi bantuan kemanusiaan yang sebenarnya masih sangat kurang bagi para pengungsi. Turki juga butuh bantuan untuk menangani pengungsi Suriah yang terus bertambah. Dalam 3 thn ini 0,21% APBN Turki didonasi untuk kemanusiaan. Tahun 2012-2013 bantuan Turki sampai USD 1,6 M, tentu saja ini sangatlah besar dilihat dari kondisi ekonomi Turki yang tidak masuk deret negara terkaya dunia. Beban besar menghadapi permasalahan yang mustinya dipanggul oleh dunia. Total bantuan 2014, USD 4M 347 juta. Ini termasuk dengan yang diakumulasi dengan ragam bantuan dari LSM-LSM Turki yang mencapai USD 233 juta. Itupun masih kurang bagi para korban.

Komplikasi persoalan ISIS, belasan faksi lain di Iraq dan Suriah, rezim bengis di kedua negara mustinya membuat kita beralih dari alih-alih meninggalkan Turki menjadi membantu beban Turki menangani pengungsi dan dampak ISIS yang bisa meluap ke semua belahan dunia.

Menangkal pengaruh ISIS ke WNI mustinya fokus di dlm negeri. Jangan malah pilih jalan mundur kontribusi Internasional.

Dampak Langsung dan Tidak Langsung

Dampak ISIS bagi sekitarnya menarik untuk dielaborasi. Pertama, dampak langsung, target dekat ISIS ini untuk mengacaukan situasi di Irak dan Suriah, , terutama mengacaukan peran oposisi Irak dan Suriah; Mengganggu Turki. Puncak pelibatan Turki dalam isu ini sejak ISIS menculik 40 diplomat sejak Juni 2014, parlemen Turki memberikan kewenangan operasi militer hingga Oktober, namun agaknya AS kini hendak memaksa Turki sebagai mitra strategisnya di NATO serta mendorongnya menggunakan mandat parlemen. Turki sangat strategis dalam isu ISIS, karena tidak ada negara selain Turki yang berbatasan langsung dengan wilayah Irak Utara dan Suriah Utara yang dikendalikan ISIS. Perihal ini terdapat kritik di dalam negeri Turki bahwa ajakan pelibatan AS terhadap Turki sepihak dan tidak melalui mekanisme pembahasan strategis secara bersama, bahkan ada desakan untuk mengevaluasi “aliansi translantik” tersebut.

Kehadiran ISIS juga mencegah Turki Impor langsung ke Kurdistan di Irak Utara. Selama ini juga terjadi perjanjian terkait imigrasi Kurdi Irak yang dikompensasi dengan rencana otonomi bertahap bagi warga Kurdi di Turki. AS mengecam rencana impor langsung Turki dari Irak Utara dengan alasan kedaulatan Irak. Akan tetapi setelah bantuan AS dalam melumpuhkan ISIS di kawasan ladang minyak tersebut, ungkapan terima kasih pemerintah Irak adalah kompensasi kerjasama minyak. Di sisi lain, Barat mengambil momen ini untuk “membantu” Kurdistan: Inggris, Perancis, Jerman, Italy, Kroasia, Kanada, Ceko, AS, dan Albania berkomitmen untuk memberikan bantuan persenjataan dan logistik bagi Kurdistan dalam misi memerangi ISIS. Ini tentu punya implikasi keamanan nasional bagi Turki. Isu ISIS memang telah menciptakan dilemma, menempatkan Turki, Rezim Assad, oposisi Suriah, rezim Irak, Iran, Kurdi, dan Jordania di front yang sama.

Kedua, dampak tidak langsung, saat ia berubah nama menjadi IS ini akan berdampak transmisi dari isu lokal (Irak dan Suriah) menjadi global. Sehingga memberikan legitimasi bagi Intervensi internasional. Maka, seperti agenda GWOT yang melawan AlQaeda, semua negara akan terdampak langsung ataupun tidak langsung dari agenda ini. Ini juga merupakan kelanjutan agenda GWOT untuk terus menciptakan stigma dan label negatif kepada Islam dan para aktivisnya, terutama dengan menggunakan generalisasi dari image kelompok Islam tertentu yang memang melakukan ragam kekerasan dan terorisme terhadap warga sipil yang tidak berdosa. Dahulu Al-Qaeda, kali ini ISIS. Target terdekatnya ini pembusukan citra HAMAS. Sejauh apa dampaknya pada gerakan Islam yang sama sekali tidak terkait ISIS, seperti mereka yang moderat, komprehensif, akomodatif, bahkan turut memperkuat demokrasi dan modernitas? Itu tergantung wacana dan kepentingan politik di rezim pemerintahan masing-masing negara.

Diplomasi, Regulasi, dan Edukasi

Berdasarkan pengamatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), mayoritas WNI yang bergabung ke ISIS mengalami proses empati-simpati-partisipasi. Maka langkah pertama adalah diplomasi. Kepekaan negara terhadap ketidakadilan global juga dibutuhkan dalam rangka menjaga kepercayaan warga negara. Kepercayaan ini yang akan mencegah mereka mengambil jalan sendiri. Pemerintah RI perlu berhati-hati, tanpa perlu paranoid memandang Turki dengan mempersulit tata-cara perolehan paspor, visa, terlebih bagi mereka para pelajar/mahasiswa, atau mereka yang transit dari umrah. Bila salah langkah, akan membawa hubungan diplomatik Indonesia-Turki mundur, padahal baru saja menjadi mitra strategis (strategic partner) dan baru saja menyepakati ragam kemudahan, termasuk visa. Kedua, terkait regulasi, perlu dikuatkan koordinasi intelijen antar lembaga sekaligus pengawasan melekat konsentris/berlapis. UU Intelijen mengamanahkan itu, koordinasi dan pengawasan sipil yang diantaranya terwakili oleh Komisi I DPR-RI. Ketiga, ideologi tidak terhindarkan sebagai faktor utama, maka alih-alih menjadi musuh bagi semangat keagamaan atau bahkan memelopori penguatan Islamophobia, negara justru perlu menguatkan edukasi pemahaman keagamaan yang modern, komprehensif, dan bersahabat. Ini secara alami akan melemahkan perkembangan ekstrimisme, baik yang lunak –permisifisme maupun yang keras –terorisme.

*diterbitkan di Rubrik OPINI Suara Pembaruan,17 Maret 2015

0 Response to "Turki, ISIS, dan Indonesia"

Post a Comment