Menyikapi konflik Partai Golkar yang terbelah menjadi dua kubu kepengurusan, antara kubu Aburizal Bakrie dengan kubu Agung Laksono, sejak awal sudah diprediksi ada kecenderungan kubu Agung yang akan menang.
Demikian disampaikan pengamat politik dari Institute Public Indonesia (IPI) Karyono Wibowo dalam keterangannya persnya, Rabu, 11 Maret 2015.
Komentar ini menanggapi putusan Kementerian Hukum dan HAM yang telah memutuskan kepngurusan Golkar yang sah adalah di bawah Agung Laksono.
Karyono mengatakan, kemenangan kubu Agung sekarang ini sejatinya sudah nampak jika dilihat dari dinamika percaturan politik nasional, dimana realitas politik di parlemen terbelah antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Kekuatan politik di parlemen berjalan tidak seimbang jika ditinjau dari jumlah kursi di DPR. Kubu KMP ditambah Demokrat menguasai mayoritas kursi di DPR.
Dan dari fakta politik, kata Karyono, kubu KIH pernah memiliki pengalaman pahit karena dikerjain oleh KMP. Kubu KIH yang menjadi pendukung pemerintah kalah telak dalam sejumlah pertarungan politik di parlemen.
"Tentu saja, pengalaman pahit seperti itu akan menjadi bahan evaluasi bagi rezim penguasa untuk menyusun strategi," ujarnya.
Salah satu strateginya adalah menerapkan teori politik kekuasaan klasik yaitu membangun keseimbangan politik, anatara lain yang sering dilakukan adalah dengan cara mempraktikkan strategi politik "belah bambu". Yaitu memecah kekuatan lawan dengan tujuan untuk menciptakan politik keseimbangan. Meskipun terkadang sampai pada tujuan penaklukan untuk memuluskan kebijakan penguasa.
Namun demikian, lanjut Karyono, strategi belah bambu dari segi logika politik baru dilakukan apabila opsi kompromi politik tidak tercapai. Dalam pertarungan politik, hal ini kerap terjadi.
"Dalam pertarungan politik kekuasaan, fenomena semacam ini sudah ada dalam teori dan sejarah perang klasik. Bahkan, apabila strategi membelah kekuatan lawan tidak juga efektif, ada strategi pamungkas yang tak jarang dilakukan, yaitu dengan memenjarakan lawan-lawan politik penguasa apabila lawan-lawan penguasa memiliki sejumlah kasus yang dapat menjeratnya ke penjara," imbuhnya.
Ia menerangkan, teori membangun keseimbangan kekuatan pada dasarnya masih kerap dipratikkan dalam percaturan politik modern sekarang ini. Hanya metode dan polanya tergantung dinamika dan realitas politik yang terjadi.
Dalam kasus perpecahan yang terjadi di Golkar, sulit ditepis tentang adanya irisan pertarungan kekuatan politik antara penguasa dengan lawan-lawan politiknya. Pun konflik yang mendera PPP. Konflik yang terjadi di Golkar dan PPP, nampak ada irisan kepentingan penguasa dalam membangun keseimbangan politik. Jika dilihat dari sejarah dari pemerintahan orde baru hingga saat ini, posisi Golkar memang menjadi kekuatan politik strategis untuk mendukung pemerintahan.
Oleh karena itu, sambung Karyono, pemerintahan siapapun cenderung menginginkan dukungan Golkar. Termasuk pemerintahan saat ini. Maka wajar saja, apabila pemerintahan Jokowi-JK menginginkan dukungan Golkar dan juga partai politik lainnya untuk memperkuat dukungan politik.
Karenanya, tambah dia, dalam perspektif kepentingan politik pemerintah, wajar juga apabila pemerintah cenderung mendukung kubu Agung Laksono karena memang kubu Agung Laksono yang mau mendukung pemerintah. Hanya persoalan caranya yang telah menimbulkan perdebatan keras. Tidak perlu heran bila versi Munas Ancol yang dimenangkan karena siapapun pemerintahnya jika dihadapkan pada realistas politk seperti ini, cenderung akan melakukan hal yang sama.
"Karena dalam teori dan praktik kekuasaan, selalu ada kecenderungan penguasa akan berusaha untuk mengamankan dan mempertahankan kekuasaannya. Atau sekurang-kurangnya untuk memelihara stabilitas pemerintahannya. Meskipun, di sisi lain, penciptaan konflik tidak hanya dilakukan pihak penguasa untuk mencapai tujuan membangun politik keseimbangan, memelihara stabilitas pemerintahan dan mempertahankan pemerintahan, tetapi sebaliknya, kerap digunakan oleh kekuatan oposisi atau kelompok penentang pemerintah untuk mencapai tujuan kekuasaan," demikian Karyono.
[Sumber]
Demikian disampaikan pengamat politik dari Institute Public Indonesia (IPI) Karyono Wibowo dalam keterangannya persnya, Rabu, 11 Maret 2015.
Komentar ini menanggapi putusan Kementerian Hukum dan HAM yang telah memutuskan kepngurusan Golkar yang sah adalah di bawah Agung Laksono.
Karyono mengatakan, kemenangan kubu Agung sekarang ini sejatinya sudah nampak jika dilihat dari dinamika percaturan politik nasional, dimana realitas politik di parlemen terbelah antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Kekuatan politik di parlemen berjalan tidak seimbang jika ditinjau dari jumlah kursi di DPR. Kubu KMP ditambah Demokrat menguasai mayoritas kursi di DPR.
Dan dari fakta politik, kata Karyono, kubu KIH pernah memiliki pengalaman pahit karena dikerjain oleh KMP. Kubu KIH yang menjadi pendukung pemerintah kalah telak dalam sejumlah pertarungan politik di parlemen.
"Tentu saja, pengalaman pahit seperti itu akan menjadi bahan evaluasi bagi rezim penguasa untuk menyusun strategi," ujarnya.
Salah satu strateginya adalah menerapkan teori politik kekuasaan klasik yaitu membangun keseimbangan politik, anatara lain yang sering dilakukan adalah dengan cara mempraktikkan strategi politik "belah bambu". Yaitu memecah kekuatan lawan dengan tujuan untuk menciptakan politik keseimbangan. Meskipun terkadang sampai pada tujuan penaklukan untuk memuluskan kebijakan penguasa.
Namun demikian, lanjut Karyono, strategi belah bambu dari segi logika politik baru dilakukan apabila opsi kompromi politik tidak tercapai. Dalam pertarungan politik, hal ini kerap terjadi.
"Dalam pertarungan politik kekuasaan, fenomena semacam ini sudah ada dalam teori dan sejarah perang klasik. Bahkan, apabila strategi membelah kekuatan lawan tidak juga efektif, ada strategi pamungkas yang tak jarang dilakukan, yaitu dengan memenjarakan lawan-lawan politik penguasa apabila lawan-lawan penguasa memiliki sejumlah kasus yang dapat menjeratnya ke penjara," imbuhnya.
Ia menerangkan, teori membangun keseimbangan kekuatan pada dasarnya masih kerap dipratikkan dalam percaturan politik modern sekarang ini. Hanya metode dan polanya tergantung dinamika dan realitas politik yang terjadi.
Dalam kasus perpecahan yang terjadi di Golkar, sulit ditepis tentang adanya irisan pertarungan kekuatan politik antara penguasa dengan lawan-lawan politiknya. Pun konflik yang mendera PPP. Konflik yang terjadi di Golkar dan PPP, nampak ada irisan kepentingan penguasa dalam membangun keseimbangan politik. Jika dilihat dari sejarah dari pemerintahan orde baru hingga saat ini, posisi Golkar memang menjadi kekuatan politik strategis untuk mendukung pemerintahan.
Oleh karena itu, sambung Karyono, pemerintahan siapapun cenderung menginginkan dukungan Golkar. Termasuk pemerintahan saat ini. Maka wajar saja, apabila pemerintahan Jokowi-JK menginginkan dukungan Golkar dan juga partai politik lainnya untuk memperkuat dukungan politik.
Karenanya, tambah dia, dalam perspektif kepentingan politik pemerintah, wajar juga apabila pemerintah cenderung mendukung kubu Agung Laksono karena memang kubu Agung Laksono yang mau mendukung pemerintah. Hanya persoalan caranya yang telah menimbulkan perdebatan keras. Tidak perlu heran bila versi Munas Ancol yang dimenangkan karena siapapun pemerintahnya jika dihadapkan pada realistas politk seperti ini, cenderung akan melakukan hal yang sama.
"Karena dalam teori dan praktik kekuasaan, selalu ada kecenderungan penguasa akan berusaha untuk mengamankan dan mempertahankan kekuasaannya. Atau sekurang-kurangnya untuk memelihara stabilitas pemerintahannya. Meskipun, di sisi lain, penciptaan konflik tidak hanya dilakukan pihak penguasa untuk mencapai tujuan membangun politik keseimbangan, memelihara stabilitas pemerintahan dan mempertahankan pemerintahan, tetapi sebaliknya, kerap digunakan oleh kekuatan oposisi atau kelompok penentang pemerintah untuk mencapai tujuan kekuasaan," demikian Karyono.
[Sumber]
0 Response to "[Perpecahan PPP dan Golkar] Strategi Politik Belah Bambu Pemerintahan Jokowi?"
Post a Comment