POLITIK ANTI-KORUPSI DAN PRIVATISASI BUMN
Saya tidak merasa aneh jika Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang dipimpin Faisal Basri menjadikan Pertamina sebagai prioritas. Bagi saya itu semakin menegaskan apa sebenarnya modus yang melatari dibentuknya tim ini.
Sebelumnya begini. Sejak lama saya punya hipotesis bahwa isu pemberantasan korupsi merupakan salah satu instrumen dari agenda liberalisasi. Kedengarannya mungkin agak ganjil, namun coba perhatikan baik-baik. Kita tentunya tak ada yang tak bersepakat jika korupsi dianggap sebagai bentuk kejahatan luar biasa. Namun, meskipun ada banyak cara untuk mencegah dan mengatasi korupsi, dalam kaitannya dengan kinerja BUMN, sejak lama sejumlah aktivis anti-korupsi di negeri ini menjadikan "mekanisme pasar" sebagai solusinya. Dalam kaitannya dengan BUMN, yang dimaksud dengan "solusi pasar" itu tidak lain adalah PRIVATISASI. Ya, privatisasi, di kalangan sejumlah aktivis anti-korupsi, adalah satu-satunya cara untuk membersihkan BUMN dari praktik korupsi.
Jika kita membaca tulisan-tulisan Faisal Basri mengenai tata kelola BUMN, sejak lama ia adalah salah satu penganjur privatisasi BUMN yang sangat gigih. Oleh karenanya, ketika dia ditunjuk menjadi ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas, sebagaimana saya sampaikan ke beberapa kawan pada hari dia dilantik, saya sudah punya praduga kuat: misinya pasti berujung di Pertamina. Alasannya simpel saja.
Pertama, tim yang dijuluki dan/atau menjuluki dirinya sendiri sebagai Tim Pemberantas Mafia Migas ini sebenarnya hanyalah tim ad hoc yang kewenangannya sekadar memberi rekomendasi kepada Menteri ESDM. Bagaimana bisa sebuah tim ad hoc yang sekadar dibentuk untuk menyusun rekomendasi, tanpa kewenangan eksekutif apapun, bisa kita anggap sebagai tim pemberantas mafia? Itu sebabnya sejak awal saya menganggap tim ini cuma dagelan saja untuk menarik simpati publik.
Kedua, sebagai tim yang dibentuk oleh dan berada di bawah Menteri ESDM, titik terjauh yang paling bisa dijangkau oleh tim ini hanyalah institusi pemerintah, dalam hal ini adalah BUMN. Ringkasnya, ya, Pertamina itu tadi.
Oleh karenanya, ketika membaca berita CNN di bawah ini (Komisi VII DPR Anggap Tim Antimafia Migas Sudah Kebablasan), berbeda dengan sejumlah komentar yang lewat di dinding saya yang menganggap bahwa respon anggota Komisi VII ini sebagai bentuk ketakutan dari mereka yang pernah atau masih menjadi bagian dari mafia migas, maka saya berpandangan bahwa respon Kardaya dalam berita ini sama sekali tidak berada dalam framing tersebut.
Kita memang patut curiga jika ujung dari dibentuknya Tim Reformasi Tata Kelola Migas ini hanya sekadar pendahuluan untuk melakukan privatisasi Pertamina dengan meminjam legitimasi sentimen anti-korupsi yang saat ini mudah sekali menarik dukungan publik.
Komposisi para pemegang kebijakan di sektor migas kita memang bisa membikin lempang jalan privatisasi Pertamina melalui legitimasi isu korupsi. Menteri ESDM, Sudirman Said, adalah salah satu pendiri Masyarakat Transparansi Internasional (MTI), sebuah lembaga anti-korupsi yang berisi sejumlah tokoh terkemuka. Amien Sunaryadi, Kepala SKK Migas, adalah bekas pimpinan KPK. Dikombinasikan dengan Faisal Basri, maka lengkap sudah jalur menuju privatisasi dengan meminjam legitimasi isu korupsi itu.
Tentu saja semua ini baru kekhawatiran. Namun, jika menyimak respons publik dalam menanggapi berita ini, jalan privatisasi untuk membersihkan Pertamina sepertinya memang sudah berada di depan mata. Inilah yang tempo hari saya sebut sebagai "Politik Anti-Korupsi".
Jangan lupa, selama ini obyek pemberantasan dan penegakan hukum terkait soal korupsi memang lebih banyak menjangkau "korupsi politik" daripada "korupsi pasar". Kita sudah melihat bupati, gubernur, menteri, anggota DPRD, anggota DPR, atau petinggi POLRI diseret oleh KPK. Namun bukankah kita belum pernah melihat CEO dari korporasi atau grup konglomerat ternama pernah disentuh oleh KPK?! Apalagi para penggede MNC/TNC, sepertinya mereka berada di luar jangkauan pemberantasan dan penegakan hukum korupsi. Padahal, adakah kasus korupsi yang tak melibatkan pihak swasta di dalamnya?!
Selama ini kita memang lebih banyak menilai segala sesuatu hanya dari permukaan yang tampak. Padahal, meminjam Milan Kundera, di atas permukaan terdapat KEBOHONGAN yang MASUK AKAL, sementara di bawah permukaan terdapat KEBENARAN yang TIDAK MASUK AKAL. Begitulah cara kerja dunia yang kita hadapi sehari-hari.
Kita harus menolak "solusi pasar" sebagai satu-satunya cara dalam usaha memberantas korupsi di BUMN.
*dari wall fb TARLI NUGROHO
0 Response to "POLITIK ANTI-KORUPSI DAN PRIVATISASI BUMN"
Post a Comment