N A B I



[NABI]*Enam tahun lalu saya pernah menulis surat terbuka untuk SBY menyambut kemenangannya pada pemilu presiden 2009. Dimuat antara lain di Politikana, surat berjudul “Yang terhormat jenderal Yudhoyono” itu dikecam oleh pendukung SBY.

Ada yang berkomentar saya layak dikarungi, saya dianggap pecundang dan sebagainya, tapi saya tak peduli. Satu-satunya alasan saya saat itu: SBY adalah pihak yang berkuasa, dan penguasa cenderung korup, menyalahgunakan kekuasaan termasuk apalagi saat bertarung kembali di pemilu. Setelah musim pemilu berakhir, saya tak berhenti mengkritik SBY.

Seorang wartawan senior mengkritik saya. Dia menilai saya tidak adil karena menempatkan SBY selalu di pihak salah. Kata dia, mestinya ada sisi baik SBY dan pemerintahannya yang juga bisa dilihat atau minimal tidak dikritik.

Saya menerima kritik teman itu, tapi bergeming mengkritik SBY. Bagi saya, sudah kewajiban pemerintah [penguasa] melakukan hal-hal baik bagi rakyatnya dan tidak ada kewajiban bagi rakyat untuk memuja-muji hal-hal baik yang dilakukan pemerintah.

Mungkin karena tulisan-tulisan opini saya di blog dan beberapa media yang terus-menerus mengkritik SBY, seorang peneliti menempatkan saya sebagai wartawan yang konsisten mengkritik SBY dalam laporannya. Laporan itu, dua hari lalu dikirim seorang teman lewat email dan saya hanya geleng-geleng kepala: ternyata ada juga yang memantau tulisan saya.

Di buku “How to win friends and influence people” Dale Carnegie menulis, kritik adalah berbahaya. Ia bisa melukai perasaan dan membangkitkan dendam. Kritik apapun kata Carnegie adalah sia-sia.

Saya mencamkan tulisan Carnegie sejak masih SMA dan saya sepakat dengannya, tapi yang dibahas Carnegie, saya kira adalah kritik antar pribadi manusia. Bukan kritik wartawan pada pemerintah yang berkuasa dan kritik rakyat pada penguasa.

Saya mengkritik SBY sebagai bagian dari pekerjaan saya sebagai wartawan. Tidak ada maksud lain dan saya tahu apa yang saya lakukan. Sekali waktu, saya menulis kritik untuk koran “The Age” ketika memuat berita yang ditulis wartawan Philip Dorling berjudul “Yudhoyono abused power” yang tidak cover both side; selebihnya adalah kritik dan kritik pada SBY hingga dia berhenti jadi presiden.

Kini penguasa sudah berganti dan sebab ada yang menyerukan agar menyampaikan kritik yang membangun, saya tergagap: bagaimana mengkritik sekaligus membangun? Saya tak tahu, siapa yang sebetulnya berkuasa sekarang.

Kata seorang kawan, nabi. Teman yang lain bilang malaikat; tapi benarkah nabi dan malaikat butuh kritik yang membangun? Saya juga sungguh tak paham, mengapa pula nabi dan malaikat masih perlu dikirimi surat terbuka untuk menentukan dan tidak menentukan kepala polisi.

Atau mengapa para nabi dan malaikat harus repot-repot naik ke panggung kekuasaan, disorot lampu kamera dan ingin disebut pahlawan?

*dari wall fb Rusdi Mathari

0 Response to "N A B I"

Post a Comment