'Dolar Naik, Bukan Salah Saya'


Oleh: Asma Nadia*

Seorang anak pulang sekolah membawa nilai buruk. Ibunya kontan kecewa.

"Soalnya tidak sesuai dengan materi yang diajarkan!" kilah sang anak cepat-cepat, dengan raut  memelas.

Sang ibu diam, mencoba memaklumi.

Di  hari lain, sang anak kembali dengan nilai  rendah yang membuat ibunya berwajah masam.

"Habis gurunya nggak enak ngajarnya, sih," keluh putranya.

Seminggu kemudian, anak yang sama, pulang membawa hasil ujian yang tidak memuaskan,  mirip nilai sebelum-sebelumnya.

Kali ini wajah sang ibu memerah, semerah angka di kertas ujian buah hatinya.
"Jangan marah dulu, Bu. Tadi ada keributan di sekolah, jadi nggak konsen mengerjakan  ujian," hati-hati anaknya mengemukakan alasan.

Si Ibu yang diam-diam curiga dan yakin ada yang tidak beres, esoknya memutuskan pergi ke sekolah untuk menemui teman-teman sekelas putranya. Dari jawaban yang diterima, ternyata banyak yang meraih nilai bagus di ujian pertama. Ini mengherankan. Bagaimana mungkin ada cukup banyak siswa tetap memeroleh nilai bagus sekalipun materi ujian berbeda dengan yang telah diajarkan, sementara kondisi tersebut justru membuat nilai putranya jatuh.

Sang Ibu lalu menanyakan perolehan angka pada ujian kedua, uniknya masih banyak di antara teman sekelas putranya yang menyatakan mendapat nilai baik. Meski seluruhnya mengakui ketidakcakapan guru mata pelajaran tersebut saat mengajar. Terakhir, sang ibu mencari tahu benarkah terjadi keributan saat ujian ketiga diselenggarakan. Kompak siswa dan siswi sekelas putranya mengangguk. Anggukan yang disusul keterangan bahwa apa yang terjadi tidak lantas membuat prestasi ujian mereka menurun. Ada apa ini?

Dialog yang berlangsung lambat laun akhirnya mengantarkan sang ibu pada pemahaman, bahwa masalahnya bukan terletak pada guru, bukan pula pada pelajaran sekolah, atau situasi kegiatan belajar mengajar, melainkan murni berasal dari putranya.

Di teras rumah, setelah pulang dari sekolah, Sang Ibu pun menegur anaknya yang selama ini sibuk menyalahkan soal-soal, guru, dan berbagai situasi atas buruknya nilai yang didapat. Beberapa saat putranya  terdiam, seolah mencerna kalimat demi kalimat yang lahir dari ibunya, meski kemudian dengan setengah berbisik tetap mengeluarkan dalih, "Teman-temanku itu dari keluarga kaya, Bu. Semua semua sarana belajar ada, ditambah ikut les privat, terus kemana-mana diantar jemput, jadi tidak capek!"

Mendengar jawaban itu, sang ibu tercenung. Lebih dari yang dikiranya. Sang anak rupanya telah dihinggapi virus "EXCUSE" tingkat kronis, yang mendorongnya terus mencari alasan atas kegagalan sendiri.

Dalam pengaruh virus tersebut seseorang akan selalu berhasil menemukan deret alasan bagi kegagalannya--bahkan meski alasan itu mengada-ada atau tidak masuk akal dan tidak 'nyambung' dengan permasalahan pokok.

Seperti anaknya yang tidak pernah kehabisan dalih, terbiasa menimpakan kesalahan pada siapa dan apa saja kecuali dirinya sendiri. Ini celaka, batin sang Ibu lagi. Sebab orang yang cenderung menyalahkan keadaan dan pihak-pihak lain, akan sulit menjadi sukses. Pertama, Mereka yang terbiasa menyalahkan pihak lain pada akhirnya akan tidak terbiasa atau lupa mencari akar masalah sebenarnya. Sesuatu yang seharusnya dilakukan.

Kedua, pribadi yang terbiasa excuse atau beralasan, saking sibuk terus saja mencari kesalahan orang lain atau keadaan, akan luput meneropong dan menggali kekuatan diri yang sebenarnya dimiliki untuk memperbaiki situasi. Curhat yang disampaikan seorang Ibu kepada saya itu, tentang anaknya itu, entah bagaimana terngiang lagi seiring pikiran saya yang tiba-tiba melayang pada kurs dolar yang telah  menembus angka Rp 13 ribu.

Saya ingat setiap betapa di halaman-halaman berita, setiap kali dolar naik, bukan hanya sekarang tapi sejak periode sebelumnya, yang acapkali terdengar adalah deret excuse yang menuduh pihak luar atau kondisi sebagai biang keladi. "Mata uang dolar menguat atas semua mata uang lain, kok. Bukan hanya rupiah", "Sekarang memang perekonomian Amerika sedang membaik," Masih banyak alasan lain. Benarkah?

Kenyataannya, ketika dolar menembus angka tertinggi terhadap rupiah, nilai dolar justru melemah atas Bath Thailand, Ringgit Malaysia, Peso Philipina, dan Dolar Singapura. Dari lima negara besar di ASEAN, hanya  rupiah yang melemah. Katakanlah memang ada faktor luar yang berpengaruh, namun menyalahkan sepenuhnya situasi luar berarti mengaku kalah pada keadaan dan menafikkan kemungkinan langkah-langkah pembenahan dari dalam yang bisa diperjuangkan untuk menguatkan nilai rupiah.

Misalnya saja mewajibkan eksportir merupiahkan hasil ekspor dalam batas tertentu setelah menghasilkan dolar di luar negeri. Karena pada dasarnya nilai yang meningkat pun nyaris tidak ada gunanya bagi penguatan rupiah jika tidak ada peraturan yang memaksa eksportir merupiahkan dolar yang dihasilkan. Apalagi jika mereka selama ini memilih memarkir dolar di luar negeri -cara yang menguntungkan diri- daripada harus pusing atau merasa bertanggung jawab memikirkan kestabilan ekonomi dalam negeri.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah membatasi tabungan dolar. Sudah menjadi rahasia umum adanya pejabat yang ternyata menabung dolar dalam jumlah besar, karena tidak ada regulasi batasan. Ketika kurs dolar naik, sekalipun banyak yang menjerit-jerit terkena imbasnya, pihak-pihak ini justru gembira sebab tabungan mereka kian berlipat ganda.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah membangun iklim investasi yang mendukung. Atmosfer bisnis bagus akan menggerakkan para investor asing untuk berbondong masuk dan merupiahkan dolar mereka.

Tentu masih banyak ikhtiar lain yang bisa dijajaki sebagai upaya menelaah penurunan nilai rupiah yang terus terjadi dan mencari cara menguatkannya kembali. Dan ini jauh lebih layak dilakukan ketimbang cuma bisa  berkomentar, "Dolar naik bukan salah saya." []

*Sumber: Republika, Minggu (8/3/2015)

0 Response to "'Dolar Naik, Bukan Salah Saya'"

Post a Comment