Neo Liberalisme, Tantangan Bagi Nasionalisme

        La Mondialisation du capital (Penduniaan Modal) Dumeil dan Levy - Foto : Net 
Seperti sistem pemerintahan dan politik lain, sebuah sistem ekonomi kemasyarakatan senantiasa didasarkan atas pemikiran atau dasar falsafah tertentu. Demikian neo-liberalisme yang sering diperdebatkan selama beberapa tahun terakhir ini dan dipandang menggerogoti dasar-dasar falsafah bangsa kita Pancasila serta sistem sosial, politik, ekonomi dan pemerintahan dicita-citakan Mukadimah UUD 45 dan batang tubuhnya.

Oleh sebab itu neo-liberalisme tidak hanya bisa diperdebatkan hanya dalam lingkup ilmu ekonomi, tetapi juga dari perspektif sejarah pemikiran filsafat.

Sebagai aliran pemikiran kemasyarakatan, neo-liberalisme sering dikaitkan dengan sistem ekonomi pasar bebas dan berakar dari perpaduan pemikiran sosial, politik dan ekonomi, serta anthropologi falsafah seperti liberalisme, utilitarianisme, individualisme, materialisme, kapitalisme, hedonisme, dan lain sebagainya.

Yang kedua lahir dari paham seperti altruisme, kolektivisme, dan sosialisme, baik sosialisme bercorak secular maupun keagamaan.

Liberalisme dan Neo-Liberalisme

Istilah neo-liberalisme sebenarnya telah lama diperkenalkan di Indonesia, yaitu oleh Mohammad Hatta dalam bukunya Ekonomi Terpimpin (1959). Sebutan ini merujuk kepada pemikiran tiga filosof ekonomi terkemuka pasca-Perang Dunia II – Walter Euchen, Friedrich von Hayek, dan Wilhelm Ropke.

Mereka menuntut adanya peraturan yang menjamin lancarnya persaingan bebas dalam kehidupan ekonomi seperti ketetapan nilai mata uang, adanya pasar terbuka di banyak negara, pemilikan swasta atas sarana produksi, kebebasan membuat perjanjian yang tepat mengenai tanggung jawab perusahaan dan politik perekonomian yang sesuai kebutuhan.

Secara umum paham ini lahir dari rahim aliran filsafat liberalisme atau paham serba bebas. Pencetusnya dua filosof Inggeris abad ke-17 M, Thomas Hobbes dan John Locke. Aliran ini berkembang pesat pada abad ke-18 M. Menurut dua filosof ini dalam kodratnya manusia bukanlah mahluk altruistik atau cinta kepada masyarakat. Karena itu cenderung pula tidak kooperatif atau bekerja sama dengan sesama anggota masyarakat. Bawaan manusia sebagai hewan berakal (animal rationale) adalah mengutamakan kepentingan pribadi.

Dalam bukunya Leviathan Thomas Hobbes mengatakan bahwa “manusia adalah serigala bagi manusia lainnya” (homo homini lupus). Semboyannya yang lain yang terkenal ialah “a war of all against all”. Untuk mengatasi situasi hukum rimba yang serba kejam itu harus ada negara yang dikuasai oleh satu orang secara mutlak, yaitu monarki absolute. Bentuk kekuasaan absolut ini dijumpai dalam pribadi Raja Louis IX yang terkenal dengan semboyannya “Le`etat est moi” (negara adalah saya).

Dengan jalan pikiran yang sama John Locke membawa liberalismenya ke tempat lain. Kebebasan, menurutnya, tak punya nilai instrinsik. Nilai ditambahkan manusia dalam kehidupan sosialnya. Ia menunjuk property sebagai sumber nilai yang membawa manusia mau hidup bermasyarakat. Hanya hal-hal yang bersifat kebendaan yang dapat dijadikan dasar untuk membangun suatu masyarakat.

Lebih jauh baginya kehidupan sosial tak lebih daripada gelanggang persaingan bebas antar individu. Sebaik-baiknya cara agar masyarakat maju dan berkembang ialah dengan membiarkan persaingan itu berlangsung tanpa campur tangan negara.

Berdasarkan pemikiran dua filosof abad ke-17 itu Adam Smith (1723-1790) mengembangkannya menjadi aliran pemikiran ekonomi. Menurutnya pusat kehidupan sosial yang ideal adalah pasar. Di sini liberalisme, dalam pengertian ekonomi, ia artikan sebagai pemeliharaan kebebasan individu untuk berjual beli dan saling bersaing dengan bebas di pasar. Motivasi jual beli bukan kerjasama, melainkan kepentingan pribadi. Hasil akhir persaingan yang fair ialah keadilan, asal saja setiap orang diberi kesempatan yang sama untuk bersaing (Mead 1972:14-6).

Dalam bukunya An Enquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations (1776) Adam Smith mengatakan bahwa sebagai mahluk ekonomi manusia cenderung memburu kenikmatan dan keuntungan sebesar-besarnya bagi dirinya. Jika tabiat bawaan manusia yang individualistik, egosentrik dan condong pada kebebasan ini dibiarkan berkembang tanpa campur tangan pemerintah/negara, dengan sendirinya akan terjadi alokasi yang memadai dari faktor-faktor produksi, pemerataan dan keadilan, kebebasan, dan dengan demikian inovasi dan kreativitas dapat berkembang.

Bersumber dari pemikiran Adam Smith, pada akhir abad ke-18 bersamaan dengan berkobarnya Revolusi Perancis dan lahirnya Revolusi Industri di Inggeris, lahir pula dua aliran pemikiran yang dominan.

Yaitu individualisme di bidang hukum dan anthropologi filsafat, dan ide pasar terbuka yang berkaitan dengan perkembangan industri. Menurut paham individualisme, manusia yang lahir dengan bawaan bebas dan hidup bebas, tidak boleh dikekang kebebasannya. Paham ini sangat dominan pada abad ke-20 dalam kehidupan politik, ekonomi, dan seni.

Aliran kedua berkenaan dengan berpindahnya pusat usaha dari kaum merkantilis (pedagang) ke tangan kaum industrialis. Kaum industri yang menguasai modal ini pantang berkoalisi seperti partai-partai politik, dan hanya bisa membuat persekutuan modal dalam bentuk perseroan terbatas. Semakin lama persekutuan ini kian kuat dan mengancam kehidupan kaum pekerja yang dilarang berserikat. Dari perkembangan inilah lahir badan-badan monopoli atau oligopoly yang begitu berkuasa.

Tetapi sebagai hasil dari perjuangan kaum sosialis, negara-negara industri di Eropa memperkenankan kaum buruh membentuk serikat pekerja untuk memperjuangkan nasibnya. Pada awal abad ke-20 zaman keemasan individualisme ekonomi mulai pudar. Perang Dunia I (1914-1918) mendorong negara-negara kapitalis memberlakukan banyak aturan yang mengekang sistem pasar bebas.

Krisis ekonomi pada dekade 1920an juga mendorong negara-negara Eropa untuk menyusun industrinya masing-masing dengan berbagai proteksi. Pada tahun 1929 krisis hebat melanda kapitalisme disusul dengan bayangan bangkitnya kembali Fascisme Jerman dan Italia. Berbagai regulasi diberlakukan agar ekonomi rakyat tidak ambruk. Pada masa inilah gagasan Ekonomi Terpimpin atau yang semacam itu mulai diterapkan di beberapa negara Eropa.

Menjelang berakhirnya Perang Dunia II, seorang ahli ekonomi terkenal Karl Polanyi menerbitkan buku yang kemudian masyhur The Great Transformation (1944). Dia mengecam keras masyarakat industri kaplitalis yang mendasarkan perkembangan ekonominya pada sistem pasar bebas. “Dengan mengakui mekanisme pasar sebagai satu-satunya penentu nasib manusia dan kondisi alam lingkungannya,” kata Polanyi, “kerusakan besar akan menimpa masyarakat.” (hal 73).

“Kerusakan itu tidak akan terjadi jika kepentingan masyarakat tidak diabaikan di atas kepentingan individu.” Pandangan Polanyi dan lain-lain berpengaruh besar di dunia, ditopang lagi dengan Perang Dingin antara Blok Barat yang kapitalis dengan Bolok Timur yang sosialis-komunis. Neo-liberalisme untuk sementara waktu harus bertiarap.

Memasuki dekade 1970-an sistem sosialisme mulai memperlihatkan kegagalan dan negara-negara industri mulai mengalami krisis. Keyakinan akan keunggulan sistem pasar bebas mulai bertunas kembali. Pada tahun 1974 Robert Nozick, seorang filosof politik Amerika, menerbitkan buku Anarchy, State and Utopia yang kemudian masyhur dan dianggap sebagai tanda nyata lahirnya kembali liberalisme dalam bentuknya baru. Dalam bukunya itu Nozick mengatakan bahwa tugas negara bukanlah memaksakan sistem dan pola tertentu bagi kehidupan warna negara, termasuk kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaannya.

Menurutnya, gagasan tentang keadilan dan pemerataan bertentangan dengan kodrat manusia yang menginginkan kebebasan penuh. Negara karenanya tidak boleh melakukan intervensi atas apa yang berlalu di pasar. Biarkan pemodal dengan modalnya saling bersaing. Peranan negara dengan demikian harus ditekan seminimal mungkin dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Urusan negara yang terpenting adalah menentukan kebijakan luar negeri.

Berdasar pemikiran Nozick, seorang ahli ekonomi terkenal dari Universitas Chicago Friedrich von Hayek dan para pengikutnya seperti Milton Friedman mengembangkan pemikiran yang dikenal dengan sebutan ekonomi pasar bebas atau neo-liberalisme.

Pada akhir 1970an gagasan neo-liberalisme mulai tersebar luas dan diterima banyak sarjana dan pemimpin negara maju. Antara lain Ronald Reagan dan Margareth Tatcher. Tatcher sendiri adalah seorang pengikut von Hayek, yang meyakini kebenaran teori Darwin tentang survival of the fittest. Begitu terpilih jadi PM Inggeris pada tahun 1979, ia mencanangkan doktrin neo-liberalismenya yang dikenal dengan sebutan TINA (There is No Alternative).

Dalam doktrinnya itu dikemukakan keutamaan persaingan bebas dalam kehidupan manusia, termasuk persaingan antar bangsa, negeri, perusahaan besar, dan umat berbeda agama, serta persaingan antar individu dalam masyarakat (Susan George 1999).

Persaingan bagi Tatcher adalah kebajikan tertinggi. Akibat-akibat daripadanya tidak boleh dipandang buruk. Pasar adalah pusat kebijakan dan kebajikan tertinggi, menggantikan peranan Tuhan. Sebagaimana Tuhan pula ia dapat menelorkan kebaikan dari sesuatu yang tampaknya jahat dan buruk.

Melalui kebijakannya itu sector publik dihancurkan. Akibatnya antara tahun 1979-1995 jumlah pekerja di Inggris dikurangi dari 7 juta menjadi 5 juta. Sementara itu income yang diperoleh negara dari pajak bukannya digunakan untuk kepentingan publik, melainkan untuk menutupi hutang perusahan-perusahaan besar dan memberikan suntikan modal baru agar bangkit kembali dari kebangkrutan.

Ciri-ciri Neo-liberalisme Seperti liberalisme klasik, neo-liberalisme menolak nilai-nilai moral dan agama yang diungkapkan dalam slogan Hak Asasi Manusia. Masyarakat tidaklah penting, sebab yang asasi adalah kebebasan individu. Pendek kata sebagai doktrin ekonomi, neo-liberalisme menghendaki perluasan perdagangan bebas tanpa kontrol dan regulasi. Idea utamanya ialah persaingan bebas antara pemilik modal yang satu dengan yang lain. Tujuannya menciptakan keuntungan sebesar-besarnya bagi penguasa pasar, yaitu pemilik modal besar.

Seperti dikatakan Marcos, pemimpin gerakan Zapatista di Meksiko, “Kaum neo-liberalis ingin menciptakan seluruh dunia menjadi Mall raksasa sehingga dengan mudah dapat membeli penduduk pribumi, wanita dan anak-anak mereka dengan harga murah sebagai tenaga kerja, berikut tanah milik dan sumber kekayaan alam mereka.”

Sebagai paham ekonomi jelas neo-liberalisme bukan suatu yang baru. Kebaruannya disebabkan penyebarannya yang begitu luas ke seluruh dunia. Walau kata-kata tersebut jarang terdengar di AS, kata Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia (2005), dampak buruknya pada akhirnya dirasakan di negeri asalnya sendiri. Di sana yang kaya (20%) bertambah kaya, dan yang miskin (80%) bertambah-tambah miskinnya.

Di seluruh dunia kebijakan neo-liberalis dipaksakan melalui tangan lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan dunia seperti IMF, ADB, WTO, IGGI (untuk Indonesia), Bank Dunia, dan lain-lain. Yang memicu lahirnya kembali liberalisme ekonomi ini ialah krisis kapitalis sepanjang 25 tahun terakhir, berupa anjlognya keuntungan yang mereka peroleh sejak awal dekade 1970an yang menyebabkan meningkatnya jumlah pengagguran.

Istilah neo-liberalisme untuk pertama kali memang muncul di Amerika Latin, anak benua yang paling awal merasakan dampak buruknya. Sejak itu kaum intelektual negeri itu berkeyakinan bahwa kendati neo-liberalisme merupakan fenomena negara Barat kapitalis, namun yang paling menderita disebabkan dampaknya ialah negara-negara berkembang.

Secara garis besar pendirian neo-liberalisme dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertama, ia merupakan paham yang menekankan pada kekuasaan pasar. Menurut paham ini adanya pasar bebas tanpa pengawasan dan regulasi yang ketat akan memungkinkan pesatnya pertumbuhan ekonomi. Reagan menyebutnya sebagai kebijakan ekonomi suply side, yaitu suatu kebijakan yang dapat mengucurkan kemakmuran secara cepat dan meluas dari atas ke bawah. Dalam perkembangannya terbukti bahwa kemakmuran menumpuk di atas, sedangkan milik yang di bawah semakin terkuras. Kesenjangan kaya dan miskin semakin menjadi-jadi. Jika terjadi krisis ekonomi, maka yang menanggung beban ialah mayoritas penduduk yang miskin.

Kedua, untuk meminimalkan peranan negara dilakukan pemotongan besar-besaran anggaran negara untuk sektor-sektor seperti pelayanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan juga kebudayaan dan keagamaan. Suplai dan subsidi bahan bakar dan air juga dikurangi, sehingga beban masyarakat bertambah berat. Biaya pendidikan dan kesehatan bertambah mahal.

Ketiga, deregulasi. Perusahan-perusahaan besar wajib mengenyampingkan regulasi dari pemerintah apabila keuntungan yang mereka peroleh berkurang. Dalam kaitan ini pasar mempunyai kekuasaan untuk mengatur opini dan pemikiran masyarakat, yaitu melalui media yang mereka miliki atau kuasai. Termasuk selera seni atau budaya. Pasar juga berusaha melakukan hegemoni penafsiran terhadap konstitusi, wacana keagamaan, politik, dan falsafah. Misalnya melalui LSM dan lembaga pendidikan yang mereka danai.

Keempat, privatisasi. Dengan privatisasi perusahaan negara terbuka peluang bagi investor asing untuk menguasai dunia perbankan, sarana transportasi, media informasi dan komunikasi, bahkan media cetak, elektronik, dan penerbitan buku, sekolah, lembaga penelitian sosial dan keilmuan, lembaga keagamaan, dan lain sebagainya. Tidak mengherankan di banyak negeri berkembang seperti Indonesia, Filipina, Thailand, dan lain-lain neo-liberalisme sanggup menjadikan negara sebagai benar-benar sebuah pasar bebas.

Kelima, tak kalah penting ialah apa yang disebut penciutan komunitas-komunitas besar dalam masyarakat menjadi komunitas-komunitas kecil yang terpecah belah serta sukar terintegrasikan. Neo-liberalisme lihai menciptakan komunitas-komunitas kecil di bidang pendidikan, kebudayaan, ekonomi, keuangan, politik, bahkan dalam bidang keagamaan, seni, dan lain sebagainya. Dengan demikian masyarakat kian terpecah belah.

Pada peringkat internasional, neo-liberalisme dapat disebut sebagai paham yang memberi tekanan kepada:
(1) Keleluasaan perdagangan barang komoditi dan jasa, termasuk film, hiburan, senjata, dan lain -lain kendati komoditi-komoditi tersebut menimbulkan kerusakan moral. Biasanya ini ditamengi dengan hiruk pikuknya wacana seperti kebebasan berekspresi, pluralisme, multikulturalisme, relativisme nilai, dan lain sebagainya;

(2) Perputaran modal yang lebih bebas, dengan akibat hancurnya modal kecil dan menengah dibawah kekuatan modal besar;

(3) Kebebasan menanamkan investasi dalam berbagai sektor kehidupan asal saja mendatangkan keuntungan berlipat ganda. Termasuk di dalamnya sektor pendidikan, kesehatan, penerbitan buku, massmedia, telekomunikasi, transportasi, dan lain sebagainya.

Dalam bukunya La Mondialisation du capital (Penduniaan Modal) Dumeil dan Levy mengatakan bahwa neoliberalisme telah merebut kekuasaan negara di dunia melalui modal finansial. Tujuan kudeta itu ialah untuk merintangi negara-negara lain di dunia menjalankan kebijakan ekonomi yang memihak rakyat. Karena itu ia juga menghalangi bangkitnya kembali nasionalisme,yang di dalamnya kebudayaan nasional dimungkinkan tumbuh dengan subur melalui kebijakan yang mandiri.(2008)

Penulis: Abdul Hadi W. M.
Budayawan, penyair, pemerhati masalah sosial politik
Dirilis: aktual.co

0 Response to "Neo Liberalisme, Tantangan Bagi Nasionalisme"

Post a Comment