Yang menjadi persoalan adalah proses bagaimana mampu memenangi tahapan perebutan kekuasaan. Apakah dilakukan secara demokratis, kalau di Indonesia menganut Demokrasi Pancasila, atau melalui jalur keturunan seperti layaknya kerajaan. Indonesia adalah negara republik, bukan kerajaan. Jika tidak mempunyai dukungan mayoritas, dihimpunlah berbagai komponen yang mempunyai faham segaris, seperjuangan.
Sudah naluriah sebagai manusia, yang berhasil terpilih menjadi pemimpin atau penguasa, baik presiden, gubernur, bupati atau walikota, juga RT dan RW, pasti akan memilih para pendukungnya untuk duduk dalam berbagai posisi yang diperlukan. Bahkan, ketika jabatannya sudah habis, tapi masih banyak yang belum kebagian, bisa saja dibuat lembaga atau jabatan baru untuk menampung mereka. Bagi-bagi kue kekuasaan.
Bagaimana dengan Presiden Jokowi yang ingin mengapresiasi para pendukungnya? Ada banyak modus. Setidaknya ada dua tiga jalur yang harus diapresiasi oleh Jokowi, yaitu jalur Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P), serta partai politik (parpol) pendukung yang terhimpun dalam Koalisi Indonesa Hebat (KIH). Serta, para relawan pendukung di luar partai-partai. Itukah yang disebut koncoisme, nepotisme, dan kolusi?
Faktanya, Presiden membuat jabatan baru yaitu kepala staf kepresidenan buat Luhut Binsar Panjaitan. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menitipkan orang kepercayaannya, Rini Soemarno menjadi menteri BUMN dengan harapan bisa meneruskan kebijakan Megawati saat menjadi presiden dulu. Partai Nasdem yang dipimpin Surya Paloh beruntung bisa mendudukkan kadernya di pemerintahan dan lembaga struktural seperti Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Menteri Agraria dan BPN, dan Jaksa Agung.
Masih banyak jabatan hadiah yang diberikan Jokowi kepada para pendukungnya. Terakhir, apakah ini termasuk kolusi, koncoime, saat Prof Saldi Isra menolak memasukkan nama Hamdan Zoelva dan menggantinya dengan nama-nama, termasuk satu di antaranya Prof Yuliandri, rekan sealmamaternya, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Saldi adalah ketua panitia seleksi hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Apakah masih tersedia jabatan lagi buat Agung Laksono cs jika mampu memaksa Partai Golkar beralih koalisi dari Koalisi Merah Putih (KMP) ke Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Atau, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang ingin mengeruk keuntungan atau mencuri kesempatan dengan meminta jatah 10% APBN buat Kementerian Desa Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang menterinya Marwan Jafar dari PKB? [banisaksono]
0 Response to "Politik KKN dan Koncoisme Rezim Jokowi"
Post a Comment