AirAsia Tak Punya Izin Terbang, Salah Siapa?


Pasca musibah yang terjadi Ahad, 28 Desember 2014 lalu, AirAsia kini menjadi bull eye, sasaran tembak pemerintah.


Tembakan ke arah AirAsia dimulai dari pernyataan pers Staf Khusus Kementrian Perhubungan yang merilis berita pilot AirAsia positif memakai narkoba jenis morfin. Tudingan ini dengan mudah dipatahkan oleh Presiden Direktur AirAsia Indonesia, Sunu Widyatmoko yang menyatakan pilot dimaksud baru saja keluar dari RS.

Tembakan kedua, kali ini dilakukan sendiri oleh Menhub Ignasius Jonan yang dengan gagah perkasa mendamprat Direktur Flight Operation AirAsia karena menyebut bahwa pengambilan data cuaca ke BMKG adalah cara tradisional. Media ikut latah dan menuliskan bahwa pilot AirAsia QZ8501, yang notabene adalah mantan pilot tempur TNI AU, ceroboh dan lalai karena tak memegang data cuaca BMKG.

Tembakan kedua ini pun meleset setelah seorang instruktur sekaligus penerbang Airbus 330 maskapai Qatar Airways, Fadjar Nugroho menuliskan sebuah surat terbuka untuk Jonan sekaligus memaparkan bahwa di era digital seperti sekarang, seorang pilot tak perlu mengambil data hardcopy ke BMKG karena saat ini data tersebut bisa diunduh dengan sangat mudah melalui website yang disediakan BMKG untuk mempermudah perolehan data cuaca. Fadjar juga menggarisbawahi bahwa PKPS (Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil) tidak mewajibkan seorang pilot memegang data cuaca secara fisik berupa kertas yang harus diambil ke BMKG.

Fadjar bahkan dengan berani meminta Menhub untuk mendatangi kantor-kantor BMKG di daerah yang hingga kini masih kekurangan fasilitas bila dibandingkan dengan institusi sejenis di luar negeri, sehingga proses update cuaca pun kadang menjadi lambat dan merepotkan penggunanya, termasuk penerbang.

Kini, pemerintah menuding AirAsia melanggar aturan izin terbang. Menurut JA Barata, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementrian Perhubungan, sesuai izin yang dikeluarkan, AirAsia hanya diberikan izin terbang pada Senin, Selasa, Kamis, dan Sabtu.

"Kenyataan pelaksanaannya rute Surabaya-Singapura dilaksanakan di luar izin yang diberikan yaitu hari Minggu," kata Barata, dalam keterangan tertulisnya Jumat,2 Januari 2015.

Dengan bahasa yang halus, Direktur Safety dan Standard AirNav Indonesia, Wisnu Darjono, menohok Kementerian Perhubungan dengan mengatakan bahwa setiap izin penerbangan berada di tangan Kemenhub. 

"Kalau dari sisi ATC kalau sudah beres yang tinggal diterbangkan saja. Untuk izin itu ada unit-unit lain yang terkait dan yang memberikan izin ialah Kemenhub," ujar Wisnu, Sabtu, 3 Januari 2015.

Wisnu bahkan berpendapat bahwa permasalahan pelanggaran izin rute ini bukan merupakan kesalahan mutlak AirAsia. Ada kesalahan dalam prosedur administrasi penerbangan yang juga melibatkan pengelola bandara dan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. 

"Ini sebenarnya masalah sistem administrasi, di mana pesawat yang mau melakukan penerbangan harus punya flight approval atau proposal terbang sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan," jelas Wisnu, Sabtu, 3 Januari 2015.

Menurut Wisnu, proses perizinan terbang sangat cepat, sederhana dan tanpa bayar. Alurnya, maskapai mengisi dan mengajukan formulir izin terbang ke Direktorat Jenderal Hubungan Udara (Ditjen Hubud) dengan menjelaskan alasan dan kepentingannya. 

"Flight approval ini bisa diajukan sekaligus secara periodik atau ketika ada special case, seperti penggunaan pesawat charter dan lain-lain," jelasnya. 

Surat resmi dari Ditjen Hubud tersebut, jelas Wisnu, menjadi dasar bagi pengelola bandara untuk memberikan izin penerbangan pada hari H yang diminta maskapai. 

"Flight plan biasanya sudah masuk sehari sebelumnya, bahkan untuk yang rutin sudah masuk untuk tiga bulan berturut-turut," tuturnya. 

Namun pada praktiknya, Wisnu mengatakan terkadang petugas di lapangan lalai mengecek kembali izin terbang karena mengasumsikan tanggal dan jam tersebut sudah menjadi jadwal rutin penerbangan maskapai. 

"Jadi karena jadwal rutinnya (AirAsia) Senin, Selasa, kamis, dan Sabtu, mungkin karena dipikirnya Minggu juga terbang, (petugas lapangan) tidak cek lagi," ujarnya. 

Wisnu mengatakan kasus ini juga tidak bisa menjadi dasar untuk menyimpulkan semua maskapai melakukan penerbangan ilegal seperti yang dituduhkan Kemenhub. 

Seperti diketahui, ada beberapa alasan diizinkannya penambahan rute di luar jadwal resmi. Seperti 
1. Gangguan operasional pesawat udara
2. Gangguan operasional bandar udara, seperti pembangunan/pengembangan fasilitas bandar udara
3. kecelakaan (accident), kejadian (incident) di bandar udara pemberangkatan/tujuan 
4. Penambahan penerbangan (extra flight) apabila terdapat lonjakan permintaan angkutan udara 
5. Perubahan rute yang telah ditetapkan (re-route) yang disebabkan terganggunya operasional pesawat udara dan/atau terganggunya pelayanan teknis pesawat udara di darat dan/atau terganggunya operasional bandar udara
6. Perubahan penggunaan tipe pesawat udara, untuk angkutan udara luar negeri. Dan untuk angkutan udara dalam negeri, apabila mengakibatkan perbedaan kaapsitas tempat duduk lebih dari 25% 
7. Penempatan pesawat udara (positioning flight) untuk melaksanakan rute penerbangan
8. Melaksanakan angkutan udara niaga tidak berjadwal sebagai pelengkap dari izin usaha angkutan udara niaga berjadwal

Permohonan izin untuk angkutan udara niaga berjadwal disampaikan maskapai ke Kepala Direktorat Angkutan Udara paling lambat 3 x 24 jam sebelum dilaksanakan penerbangan. Berkas yang diajukan meliputi formulir persetujuan terbang yang disertai dengan daftar tunggu (waiting list) penrbangan tambahan, dokumen kontrak charter untuk pesawat charter, persetujuan dari instansi terkait di bidang pertahanan dan hubungan luar negeri, serta data pendukung yang menjelaskan kemampuan landasan dan fasilitas bandara. Untuk persetujuan terbang di luar jam kerja diterbitkan paling lambat 1 x 24 jam, sedangkan untuk penerbangan di hari libur paling lambat 3 x 24 jam.

"Mestinya inspektorat-inspektorat Kemenhub yang meneliti, bagaimana ini bisa terjadi," tutur Wisnu.

Pernyataan umum Wisnu ini merupakan penjelasan umum mengenai alur izin administrasi terbang yang tidak spesifik tertuju pada satu maskapai, yakni AirAsia. Wisnu juga menegaskan, Air Traffic Control (ATC) di bandara,  tidak ikut campur dalam proses pengeluaran izin terbang. 

Sehingga, menurut Wisnu, sangat janggal bila Kementerian Perhubungan langsung menuding AirAsia telah melakukan pelanggaran, tanpa melakukan introspeksi ke dalam dan mencari pihak internal di Kemenhub yang telah mengeluarkan ijin terbang untuk AirAsia QZ8501.

Senada dengan Wisnu, Jusman Syafii Djamal, Menteri Perhubungan era Mei 2007 - Oktober 2009 menyatakan dalam wawancaranya dengan Uni Lubis bahwa ATC tidak mungkin melayani ijin take off dan landing pesawat tanpa ijin resmi dari Dirjen Perhubungan Udara, apalagi, tambah Jusman, bandara yang dituju adalah Changi yang terkenal sangat ketat.

“ATC tak mungkin melayani adanya permintaan ijin take off dan landing pesawat tanpa ijin. Apalagi bandara yang dituju adalah Changi Singapura yang terkenal sangat ketat. Tak mungkin mereka mau menerima “pesawat hantu” yang angkut penumpang bertiket kalau tak berijin resmi," kata Jusman.

Lalu, apa tanggapan AirAsia mengenai hal ini?

Direktur Safety and Security AirAsia Indonesia Captain Achmad Sadikin mengatakan bahwa tidak benar AirAsia melanggar jadwal penerbangan di rute tersebut. 

“Kami pastikan itu tidak benar, kami tak akan terbang kalau ilegal,” kata Achmad di Surabaya, Jumat 2, Januari 2015 malam.

Bola panas yang dilemparkan oleh Kementerian Perhubungan ke AirAsia selalu berhasil dimentahkan kembali, bukan hanya oleh pihak AirAsia namun juga oleh pihak lain yang mampu secara jernih mendudukkan persoalan pada tempatnya. 

Yang jelas, tudingan-tudingan liar Kemenhub, sebagai bagian dari pemerintah ini, nampak seperti upaya cuci tangan atas musibah AirAsia atau bahkan hanya sebagai pengalih perhatian publik dari hal lain. (fs)

0 Response to "AirAsia Tak Punya Izin Terbang, Salah Siapa?"

Post a Comment