Pelajaran dari Nauru, Negara Paling Makmur yang Berubah Bangkrut



Apakah anda pernah mendengar nama Nauru?

Nauru adalah sebuah negara kepulauan kecil berbentuk republik di wilayah samudera Pasifik barat seluas 21 km persegi, dengan jumlah penduduk kurang dari 10 ribu jiwa. Negara ini kini termasuk kategori negara bangkrut dan tidak mampu membiayai pemerintahannya sendiri, mereka mengandalkan bantuan atau utang asing untuk menutupi segala kekurangan.

Beberapa dekade lalu negara ini merupakan negara paling makmur di masanya. Pendapatan per kapita penduduk Nauru menjadi yang paling tinggi di dunia pada dekade 60 s/d 70-an. Namun kini 75 persen wilayahnya sudah tidak produktif untuk apapun atau tidak layak huni.

Kemakmuran Nauru bermula ketika ditemukan fosfat yang berasal dari 'fosil' kotoran burung pada awal abad ke-20, fosfat menjadi bahan penting dalam industri pupuk. Sejak saat itulah, seketika Nauru menjadi negara "tajir" dan mengangkat ekonomi rakyatnya. Nauru adalah pulau fosfat, dengan cadangan yang dekat dengan permukaan, sehingga pertambangan mudah dilangsungkan (wikipedia).

Hal ini mengundang datangnya berbagai perusahaan untuk menambang. Di masa kejayaan ini Nauru seolah menjadi "Arab Saudi"-nya fosfat. Penambangan dilakukan secara besar-besaran serta gila-gilaan untuk mengeruk profit sebesar-besarnya, apalagi semenjak mereka merdeka dari Inggris.

Rakyat Nauru terbius oleh kemakmuran dari kotoran burung ini. Sementara hasil buminya terus dikeruk, uang yang mereka peroleh hanya dihabiskan untuk foya-foya.

Cerita berubah ketika cadangan fosfat telah menipis pada dekade 80-an, ekonomi negara langsung jeblok, uang juga melayang oleh gaya hidup foya-foya penduduknya dan investasi tidak berguna. Satu-satunya bekas nyata yang masih tersisa dari era kemakmuran penduduk Nauru adalah kegemukan dan penyakit diabetes.

Sebagian besar lingkungan mereka telah benar-benar rusak parah oleh bekas penambangan. Tak ada lagi pulau indah yang diselimuti tumbuhan hijau rimbun di permukaanya. Bahkan penduduk Nauru mungkin merasa bahwa lebih baik mereka tidak pernah menemukan fosfat di pulau itu.

Penutup

Kejadian di Nauru dapat kita anggap sebagai contoh mini replika bagi seluruh dunia. Peningkatan ekonomi, pengerukan untung, kekayaan dll ala peradaban barat dianggap sebagai pencapaian tertinggi peradaban saat ini. Padahal kemajuan peradaban mereka itu dasarnya adalah peningkatan daya konsumsi, dan setiap konsumsi pasti akan mengorbankan sumber daya alam. Persis seperti yang terjadi di Nauru dalam skala kecil dan lebih cepat.

Sumber daya alam bukanlah sesuatu yang tak ada habisnya. Suatu saat akan habis jika tak ada gantinya atau sumber baru, karena itulah tokoh Atheis seperti Stephen Hawking menyarankan agar manusia mencari planet baru sebagai langkah paling logis penyelamatan spesies (menurutnya). Lagi-lagi persis seperti Nauru yang kini harus bergantung ke negara lain (pihak luar).

Lalu apakah kita sebagai muslim masih menganggap pola pencapaian ekonomi ala barat adalah kemajuan peradaban? Atau justru sebaliknya (seperti logika Hawking), mereka hanya mendaki bukit tinggi untuk melompat ke dalam jurangnya?

Ekonomi dalam Islam adalah untuk mencukupi kebutuhan dan kekuatan umat, bukan berlomba mengejar kemakmuran. Konsumsi sumber daya boleh, tapi bukan pemborosan atau terus meningkatkan penjualan pada konsumen (menciptakan kebutuhan baru).

Allah Ta'ala telah berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

"Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS al-A’raf: 56)

*dari fb Risalah


0 Response to "Pelajaran dari Nauru, Negara Paling Makmur yang Berubah Bangkrut"

Post a Comment