Kegagalan Jokowi, UGM Harus Tanggungjawab & Minta Maaf Kepada Rakyat



Tulisan menarik dari Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, Kepala Departemen Kajian Strategis Dema Fisipol UGM 2015 dan Peneliti Bulaksumur Institute, yang dimuat di portal SELASAR edisi Senin 16 Maret 2015 degan judul "UGM: Kita Yang Harus Tanggung Jawab".

***

UGM: Kita Yang Harus Tanggung Jawab
(Oleh: Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia)

“Dilarang keras menafsir secara dangkal”

Begitulah yang disampaikan Alif, warga Fisipol UGM yang gemar menabung serta meredefinisi apa yang selama ini ia pahami, melalui akun Facebooknya. Tanggal 11 Maret lalu, Manajemen Opini Publik Dema Fisipol merilis sebuah propaganda. Propaganda tersebut memperlihatkan seorang nenek berparas Megawati yang tengah membuka kedok wajah presiden Jokowi.


Disitu juga tercantumkan sebuah kalimat berbunyi: “alumnimu gitu kamu nggak malu?”. Propaganda tersebut pun bergentayangan di beberapa fakultas yang ada di Bulaksumur.

Bisikan Ghaib

Bukan Dema Fisipol jika tanpa kontroversi. Harus diakui, gambar tersebut menghebohkan kembali jagat UGM yang sedang krik krik krik-nya. Maklum saja, sejak terpilihnya Jokowi sebagai presiden, tak banyak dari akademisi, mahasiswa bahkan karyawan yang tergabung dalam ‘paguyuban civitas UGM’ ikut mengkritisi kepemimpinannya.

UGM pasca pemilihan ini seolah “dikondisikan”. Sebagai almamater -tercinta- Jokowi, UGM sudah sepatutnya meminta maaf karena dianggap ‘melahirkan’ presiden yang telah mengecewakan rakyat di usia pemerintahannya yang baru sebiji mente ini.

Mengutip apa yang dikatakan Sudjiwo Tedjo, “pemimpin tangan besi, mematikan nyali, tapi pemimpin yang dinabikan mematikan nalar”.

Semesta mendukung Jokowi, Jokowi adalah Kita!!! Begitulah adanya. Semua yang dikatakan Jokowi dinilai benar sedang yang mengkritik dianggap men-Jonru.

Andai saja sobat sekalian lebih cermat dan memiliki ingatan yang baik, tentunya masih ingat akan cerita –pemilu- lalu dimana Jokowi telah menasbihkan dirinya sebagai ‘kita’. Kata ‘kita’ disini tentu meliputi banyak dimensi.

Sebut saja ada orang-orang di Rektorat, Fakultas Kehutanan, Isipol, Hukum, Teknik, Kedokteran, Sekolah Vokasi dan fakultas lain di UGM yang tidak bisa disebutkan satu per satu tanpa mengurangi rasa hormat kami, juga para tukang becak di Malioboro, polisi yang biasa bertugas mengatasi kemacetan di sekitar bunderan HI, bahkan para pengrajin koteka di Papua.

Artinya, Jokowi milik semua rakyat Indonesia. Ia jelas bukan milik UGM, apalagi jika muncul klaim sepihak sebagai milik Fakultas Kehutanan saja. Kami rasa itu kurang tepat.

Terpilihnya Jokowi sebagai presiden tentunya tak lepas dari peran kita pada pemilu lalu. Jadi, jika Jokowi melakukan kesalahan hari ini, maka terdapat dosa kita di dalamnya. Lalu bagaimana dengan yang tidak memilih Jokowi (yang memilih prabowo atau yang golput) pada pemilu lalu? Mereka pun harus bertanggung jawab. Sebab, Jokowi yang hari ini adalah representasi dari kita semua.

Maka, sikap abai terhadap Jokowi dan membiarkannya dibisiki oleh ‘bisikan ghaib’ yang entah dari mana datangnya itu tidaklah tepat. Kita tahu bahwa menjadi pemimpin sekelas presiden sangat berat. Dia mungkin saja memiliki niatan baik, namun kondisi di perjalanan tak semudah membaca nasib manusia seperti yang biasa dilakukan para ahli fengsui.

Seringkali kebijakan yang hendak dikeluarkan membuat rakyat harus mengernyitkan dahi. Kami tahu semua itu bukan semata-mata inginnya, sebab kami merasakan ada banyak aktor dibalik layar yang acapkali ‘menyetir’ kendali pikir Jokowi.

Sebagai contoh, di awal kepemimpinannya, Jokowi tak bisa memenuhi ucapannya terkait dengan kabinet ramping. Pemilihan menteri-menteri yang memiliki rekam jejak buruk untuk kemudian dipaksakan masuk ke dalam kabinet pun tak luput dari kendali para ‘pembisik handal’.

Selanjutnya, kasus pengangkatan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri tunggal. Sudah menjadi rahasia umum jika ia merupakan pesanan dari Yang Mulia Megawati. Ada lagi, proyek mobil nasional di berikan secara ikhlas kepada Kang Hendropriyono. Tak lupa kursi Kejagung di kuasai orang partainya Om Surya ‘Brutus’ Paloh dan masih banyak lagi gawean yang didapatkan para konco Si Mbok.

Dengan itu, masih layak kah kita diam?

UGM Seharusnya

“Selamat Hari Wanita Bu Mega, Terima Kasih atas Bimbingannya Kepada Doi.”  Begitulah isi kalimat spanduk yang terletak diatas kantin Fisipol. Manajemen Opini Publik membuatnya dengan begitu telaten dalam peringatan hari wanita internasional lalu.

Manajemen Opini Publik bekerja sama dengan Kajian Strategis Dema Fisipol memang sedang giatnya menggarap tugas: menyadarkan paguyuban civitas UGM.

Sejauh ini, paguyuban UGM terlihat lemah dalam memberikan tekanan ke jantung pemerintahan. Harus diakui, sejatinya mereka sudah bergerak, tetapi belum mampu merobohkan benteng kemunafikan elit. Kita pun akhirnya hanya menjadi abu-abu konspirasi.

Sobat sekalian yang super sekali. Kritik yang kami sampaikan adalah tanda cinta kami kepada Jokowi. Kami tak ingin sedikitpun Jokowi diperlakukan layaknya boneka, atau pesuruh para oligarkhi nakal. Kami meminta teman-teman untuk berpikir lebih jernih; lebih dalam lagi –tapi jangan tidur. Kitalah yang bertanggung jawab atas sebagian besar dosa Jokowi jika tak mampu meluruskannya. Sudah selayaknya kita bersuara.

Anggapan anak Fisipol cuma bisa kritik memang bukan mitos. Tapi jangan lupa, kita punya sejarah bahwa ada seorang mahasiswa legendaris –bukan Fisipol- asal Ibukota yang hobinya juga mengkritik pemerintah, sebut saja Koh Gie.

Sejak kelahirannya sebagai mahasiswa, tugasnya bukan cuma belajar. Ia aktif menulis hingga turun ke jalan, tapi sesekali juga ia kongkow bareng teman-teman atau berduaan bareng cem-ceman.

Ada juga Arif Rahman Hakim, mahasiswa Ilmu Alam yang turut serta menyuarakan keadilan dalam penaklukan rezim Sukarno. Ia meninggal dengan kebanggaan peluru yang tersematkan di dadanya. Namanya harum hingga dijadikan sebagai nama masjid di kampusnya. Sehingga yang bisa dan suka mengritik bukan hanya anak Fisipol saja loh.

Sobat sekalian yang baik hatinya. Sebetulnya kritik untuk Jokowi itu adalah menu wajib yang harus kita berikan kepada seorang kepala negara dan pemerintahan. Betapa tidak, salah satu jantung dari proses demokratisasi itu adalah kritik.

Biasanya kritik selalu dilihat sebagai ‘tamparan’ awal agar terjadi sebuah perubahan dan perbaikan ke arah yang lebih baik. Selow aja, Dema Fisipol tidak akan menjadi tukang kritik melulu, nantinya jika ada kebijakan Jokowi yang berbuah positif pasti akan kami apresiasi. Mungkin saja poster kami yang berbunyi “alumnimu gitu kamu nggak malu?” bakalan berubah “alumnimu gitu kamu harus bangga”.

Sebagaimana yang dikatakan Mas Uceng –nama panggung Zainal Arifin Mochtar- bahwa "Pemimpin itu akan terus berganti, namun intelektual harus selalu bersuara.”

Bila anda tetap abai, kami sarankan anda segera pergi ke Indomaret terdekat untuk membeli beberapa perlengkapan berikut: Balsem Geliga untuk di oleskan ke mata anda, Baby Huki cotton bud untuk mengorek kuping anda dan koyok cabe untuk ditempelkan pada bibir anda; boleh juga ditambahi minyak urut GPU yahuutt untuk di bubuhi pada kepala Anda.

Mungkin hanya cara itu yang mampu membuat sobat sekalian mau melihat, mendengar, membaca, dan juga berpikir. Sekali lagi sudah sepatutnya UGM meminta maaf kepada rakyat.

Perlu diingat, masa depan negara dan kemanusiaan bergantung pada sikap kritis kita hari ini.

*sumber: https://www.selasar.com/politik/ugm-kita-yang-harus-tanggung-jawab

0 Response to "Kegagalan Jokowi, UGM Harus Tanggungjawab & Minta Maaf Kepada Rakyat "

Post a Comment