![]() |
Menurut pemerintah ada tiga jenis BBM yang diatur, yaitu BBM tertentu bersubsidi, BBM khusus penugasan nonsubsidi, dan BBM umum nonsubsidi.
Jenis BBM tertentu yang disubsidi solar dan minyak tanah. Solar akan memperoleh subsidi tetap sebesar Rp1.000 per liter; sedangkan jenis BBM khusus penugasan dan umum berupa bensin Premium yang tidak lagi disubsidi.
BBM khusus penugasan berlaku untuk luar Jawa, Bali, dan Madura, yang pemerintah masih akan menanggung 2% biaya distribusi. Akan halnya BBM umum berlaku di Jawa, Madura, dan Bali, yang harganya berubah sesuai harga keekonomian.
Menurut pengamat energi Marwan Batubara, kebijakan pemerintah mencabut subsidi BBM jenis bensin Premium patut dipertanyakan. Kebijakan diambil saat harga minyak dunia sedang turun, sehingga perubahan harga dari BBM bersubsidi menjadi BBM nonsubsidi menjadi tidak terasa.
Bahkan, mayoritas masyarakat menyambut baik kebijakan tersebut karena harga BBM “bersubsidi” turun dari Rp8.500 menjadi Rp7.600 "nonsubsidi". Padahal, kebijakan penurunan harga tersebut telah “disusupi” dengan “jebakan Batman” berupa penghapusan subsidi yang dampaknya sangat memberatkan masyarakat jika harga minyak kembali pada kisaran US$ 90 sampai US$ 100 per barel.
Pemerintah, kata Marwan, menyatakan harga eceran bensin Premium nonsubsidi Rp7.600 diperoleh berdasarkan nilai tukar rupiah Rp12.380 per US$ 1 dan harga rata-rata indeks pasar untuk minyak dunia sebesar US$ 60 per barrel. Harga nonsubsidi ini akan berubah dari patokan Rp7.600 tergantung pada perubahan harga minyak dunia dan kurs rupiah (selama sebulan sebelumnya), serta kebijakan pemerintah pusat dan daerah atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
Berdasarkan kebijakan yang berlaku, harga eceran bensin Premium nonsubsidi didapat dari harga perolehan/penyediaan ditambah margin badan usaha, margin SPBU, PBBKB, dan PPN 10%. Adapun biaya penyediaan diperoleh dari bahan baku (harga produk BBM berdasarkan indeks pasar) ditambah biaya pengolahan, transportasi, penyimpanan, dan distribusi.
Marwan mengungkapkan, dengan asumsi harga minyak mentah US$ 60 per barel dan harga produk gasoline setelah pengilangan menjadi US$ 70 sampai US$ 75 per barel, serta kurs rupiah terhadap dolar Rp12.380 per US$ 1, harga (FOB) bensin premium Rp5.840 per liter. Jika biaya transportasi, penyimpanan dan distribusi diasumsikan sebesar netto 2%, margin badan usaha sebesar 6-10%, dan margin SPBU sebesar Rp270 per liter, biaya penyediaan dan pendistribusian premium menjadi sekitar Rp6.600 per liter.
Dengan adanya tambahan PBBKB 5% dan PPN 10%, harga bensin Premium yang ditetapkan pemerintah menjadi Rp7.600 per liter.
“Ternyata, karena banyaknya komponen tambahan biaya, harga eceran BBM di Indonesia cukup tinggi, tidak sekadar memperhitungkan harga minyak dunia dan kurs yang berlaku,” kata Marwan lagi.
Kalau harga minyak mentah naik menjadi US$ 80 sampai US$ 100 per barel, sesuai dasar perhitungan di atas, harga bensin Premium nonsubsidi akan naik berkisar Rp9.600 hingga Rp11.500.
“Karena subsidi BBM telah dicabut, dampak kenaikan harga tersebut akan sangat memberatkan rakyat, terutama kalangan masyarakat menengah ke bawah,” tuturnya.
Selama ini, pemerintah mengklaim hanya sekitar 28% subsidi BBM tepat sasaran, sedangkan 72% sisanya tidak tepat sasaran.
“Artinya, dengan penerapan harga keekonomian, sekitar 28% konsumen BBM Premium golongan menengah ke bawah akan membayar harga BBM yang lebih besar dibanding saat sebelum perubahan harga. Dengan begitu, kehidupan ekonomi mereka justru menjadi lebih buruk dibanding sebelumnya. Karena itu, kebijakan pencabutan subsidi BBM premium harus ditolak!” kata Marwan.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan. Ia menyatakan, kebijakan pemerintah mencabut subsidi BBM jenis Premium akan memberatkan masyarakat. “Baru-baru ini rakyat telah terpukul dengan kebijakan kenaikan tarif tenaga listrik dan kenaikan harga LPG 12 kilogram sejak pekan lalu. Artinya, dengan pencabutan BBM jenis Premium ini masyarakat kian terpukul,” katanya di Jakarta, Kamis 8 Januari 2014.
Rencana pemerintah untuk merampingkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menurut Mamit, tidak berarti harus mencabut subsidi secara serentak. Karena, dengan kebijakan tersebut berarti harga BBM ditentukan oleh pasar, di sisi lain peluang harga minyak kembali naik kian terbuka yang tentunya akan diikuti pula oleh kenaikan harga BBM.
“Rakyat benar-benar kesulitan, apalagi ketika harga bahan bakar naik mengikuti kenaikan harga minyak mentah dunia, pastinya harga-harga kebutuhan pokok juga ikut naik. Artinya, masyarakat kian terjepit,” ujarnya.
Kebijakan pencabutan subsidi terhadap premium, lanjut Mamit, berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok yang tidak terkontrol.
“Pemerintah harus meninjau kembali kebijakan pencabutan BBM bersubsidi. Jangan sampai hanya karena alasan perampingan postur APBN, rakyat diabaikan,” tutur Mamit. (pn/fs)
0 Response to "Marwan Batubara: Tolak Pencabutan Subsidi Premium!"
Post a Comment