Imad Hussein, seorang pedagang di jalur Gaza yang terblokade, memeriksa panel-panel solar sebelum memasangnya di atap sebuah rumah di kota Gaza. Panel-panel itu, sebutnya, seharusnya cukup untuk menyediakan satu rumah tersebut listrik untuk siang dan malam.
Menurut Hussein, sang pemilik dari sebuah perusahaan yang menjual dan memasang panel-panel tersebut, krisis energy yang telah terjadi di jalur Gaza sejak 2006 –sejak Israel pertama kali memaksakan sebuah blokade mematikan di wilayah itu- telah memaksa banyak penduduk untuk beralih ke energy surya.
“Banyak keluarga dan asosiasi di Gaza baru-baru ini telah beralih ke tenaga surya untuk memenuhi kebutuhan listrik harian mereka,” sebut Hussein pada Anadolu Agency, Senin (23/11/2015).
Panel-panel surya, yang menyerap sinar matahari, dipasang di atap-atap rumah dan bangunan, jelas Hussein. Panel-panel ini mengisi ulang baterai yang pada gilirannya memproduksi listrik untuk pemakaian rumah tangga.
“Sel-sel surya (pada panel-panel itu) menyerap sinar matahari dan mengubahnya menjadi electron-elektron, yang kemudian ditransfer dengan kabel menuju baterai,” sebutnya.
“Energy yang terakumulasi di baterai kemudian diubah menjadi transformer elektrik, yang kemudian memproduksi arus listrik yang konsisten,” tambah Hussein.
Dia menjelaskan bahwa biaya pemasangannya tergantung dari jumlah panel yang dibutuhkan. 6 panel, sebagai contoh, yang kemudian cukup untuk menyediakan sebuah apartemen dengan seluruh kebutuhan listrik, menghabiskan sekitar $3.000.
“Benar bahwa ini mahal, tapi ini mendapat tingkat permintaan yang tinggi,” sebut Hussein, mengutip bahwa perusahaannya baru-baru ini telah memasang panel-panel untuk puluhan rumah, institusi dan rumah sakit di Gaza.
Dia menambahkan: “Seringnya terjadi pemadaman listrik telah memaksa para penduduk Gaza untuk mencari alternative, meski tingginya biaya yang dibutuhkan.”
Jalur Gaza adalah tempat tinggal 1,9 juta orang dengan luas wilayah 360 kilometer persegi. Gaza telah merana dibawah krisis energy yang kronis sejak Israel memblokade wilayah Palestina tersebut pada 2006.
Ibrahim al-Mashharawi, yang ayahnya baru-baru ini telah memasang panel-panel surya di atap rumah mereka di Gaza, memberi tahu Anadolu Agency bahwa ia merasa “sangat nyaman” setelah ia menikmati akses regular untuk listrik.
“Sekarang kami dapat mengoperasikan alat-alat elektronik sepanjang hari tanpa harus mengkhawatirkan mengenai pemadaman listrik selanjutnya,” sebutnya. “Kami tidak lagi perlu untuk bergantung kepada lilin atau generator-generator yang berbahaya.”
Mohamed Hamadeh, pemilik sebuah perusahaan furniture di Gaza, juga baru-baru ini mengubah rumahnya untuk memakai energy surya.
“Sekarang alat-alat dirumah saya – kulkas, mesin cuci dan alat-alat lain—semuanya dijalankan oleh energy surya,” sebutnya.
Kemewahan
Hamadeh menyatakan energy surya merupakan sebuah kemewahan yang hanya dapat dinikmati oleh penduduk Gaza yang relative berkecukupan.
“Ada permintaan yang tinggi untuk panel-panel surya, tetapi sebagian besar adalah orang yang berpendapatan tinggi dan menengah yang sanggup,” sebutnya, menambahkan bahwa penduduk Gaza yang memiliki pendapatan terbatas seharusnya dapat pula menikmati keuntungan-keuntungan energy surya.
Pada bulan Mei, Bank Dunia melaporkan bahwa tingkat pengangguran di Gaza telah mencapai 43 persen- tertinggi di dunia.
“Hampir 80 persen dari penduduk di jalur Gaza menerima jaminan sosial dan 40 persen diantaranya masih berada dibawah garis kemiskinan,” sebut Bank Dunia.
Sejak gerakan Hamas –yang mendukung perjuangan bersenjata melawan Israel—menang telak dalam pemilihan umum Palestina di awal 2006, otoritas Israel telah memaksakan embargo yang menghancurkan jalur Gaza.
Blokade ini telah menutup impor barang-barang kebutuhan paling dasar – termasuk makanan, bahan bakar dan obat-obatan – menuju wilayah tepi pantai ini.
Samih Afana, seorang pedagang di Gaza, tidak keberatan untuk memasang panel-panel surya untuk menjamin aliran listrik tetap setelah bisnis pembekuan dagingnya mengalami kerugian besar karena seringnya pemadaman listrik.
“Panel surya ini menyediakan saya dengan energy (listrik) siang dan malam,” jelasnya pada Anadolu Agency. “Tidak perlu lagi generator, yang membutuhkan bahan bakar diesel dalam jumlah besar.”
Menurut kementerian pertanian Gaza, banyak petani di Gaza yang juga beralih kepada energy surya untuk menghasilkan listrik yang dibutuhkan untuk mengairi lahan mereka.
Lebih lanjut, otoritas Kota Gaza, dalam koordinasi dengan otoritas energy lokal, baru-baru ini telah meluncurkan sebuah proyek yang bertujuan untuk menyinari jalanan dan tempat-tempat umum di kota tersebut dengan energy surya.
Jalur Gaza membutuhkan 400 megawatt listrik –dimana hanya 200 diantaranya yang sekarang tersedia– untuk memenuhi kebutuhan para penduduknya.
Satu-satunya pembangkit listrik di Jalur Gaza saat di bom zionis Israel (29/7/2014) |
Pada 29 Juli 2014, satu-satunya pembangkit listrik di Jalur Gaza di bom zionis Israel telah menyebabkan stasiun pembangkit tidak dapat beroperasi pada kapasitas penuh.
Kebutuhan listrik Gaza bersumber dari tiga: beli dari Israel 120 megawatt listrik; beli dari Mesir 28 megawatt, dan satu-satunya pembangkit di Gaza yang berfungsi, yang menghasilkan antara 40 hingga 60 megawatt.
0 Response to "Diblokade Dan Tanpa Bahan Bakar, Gaza Mulai Gunakan Listrik Energy Surya"
Post a Comment