“Perang di twit itu banci!”
Kalimat diucapkan seorang kawan di sebuah grup messenger. Ia mengucapkan itu setelah ada kawan yang lain memposting gambar akun anonim yang mentweet tentang “Ciri-ciri ISIS: Benci Jokowi, Benci Jokowi, Benci Syiah. Benci PKS..”
“Ngomong apa saja nggak ada beban dan tanggung jawab. Ramai di twit, belum, tentu rame di darat.” lanjut sang kawan yang berpendidikan tinggi itu, anggap saja Fulan A.
“Wah, saya berarti banci dong,” kata salah satu anggota grup. “Dulu saya Twitwar sering, makanya diblock Ulil Abdalla, Ratna Paet, Fadjroel, Mohammad Guntur haha…”
“He he, just opinion. General. Pembenci dan pecinta merasuk tulang di jagat maya. Kalau ngobrol di darat bisa jadi akan lain ceritanya (bisa lebih baik, bisa lebih parah juga maksud nya he he he) Efek negatif dunia maya yaitu tadi komen-komen tak terkontrol dan less reponsible. Tentunya banyak hal yang positif juga untuk hal lain.” lanjut Fulan A.
Tak lama teman lain menimpali, sebut saja Fulan B, “Twitwar adalah hal yang sudah ada sejak zaman Rasul.”
“Sampai skrg juga masih ada, he he teluh, ada temen doktor pun ada yg mempercayai dan merasa mengalaminya sehingga mencurigai semua orang. Terlepas perang opini.” balas Fulan A.
“Para sahabat juga sudah sejak awal biasa melancarkan psy war atau twitwar dalam menghadapi celaan dari kaum kafir. Yang bahasa pendidikannya dikenal sebagai psywar.” jawab Fulan B.
Fulan A pun mengatakan bahwa perangnya opini. Mencari kemenangan. Bukan kebenaran.
“Twitwar bukan urusan banci atau tidak, tapi Kemampuan dan kemauan seseorang dalam psywar.” ucap Fulan B tak mau berhenti berargumen.
“Itulah yang saya nggak suka dengan kecenderungan politik, sejak masa lampau begitu. Kemenangan adalah panglima, apapun cara dan justifikasinya,” jawab Fulan A.
Diskusi terhenti ketika sang guru mengingatkan, “Azan Isya. hayya ‘alal falaah..”
Twitwar atau perang opini di ranah twitter apakah banci? Sebelum diskusi mendingin seperti di atas sang guru menuliskan kalimat begini: “Let’s focus our own job. Dakwah kita dasarnya cinta. Kebencian balas dg kasih sayang dan santun. Seperti jawaban cantik walkot bdg RK saat dibully Jokowers/Ahokers.”
Jawaban yang bijak. Yup, banci atau tidak, yang pasti mendiamkan sebuah kezaliman adalah kezaliman itu sendiri. (pm)
Sumber: Bersama Dakwah http://bersamadakwah.net/twitwar-itu-banci/
Penulis: @paramuda
Kalimat diucapkan seorang kawan di sebuah grup messenger. Ia mengucapkan itu setelah ada kawan yang lain memposting gambar akun anonim yang mentweet tentang “Ciri-ciri ISIS: Benci Jokowi, Benci Jokowi, Benci Syiah. Benci PKS..”
“Ngomong apa saja nggak ada beban dan tanggung jawab. Ramai di twit, belum, tentu rame di darat.” lanjut sang kawan yang berpendidikan tinggi itu, anggap saja Fulan A.
“Wah, saya berarti banci dong,” kata salah satu anggota grup. “Dulu saya Twitwar sering, makanya diblock Ulil Abdalla, Ratna Paet, Fadjroel, Mohammad Guntur haha…”
“He he, just opinion. General. Pembenci dan pecinta merasuk tulang di jagat maya. Kalau ngobrol di darat bisa jadi akan lain ceritanya (bisa lebih baik, bisa lebih parah juga maksud nya he he he) Efek negatif dunia maya yaitu tadi komen-komen tak terkontrol dan less reponsible. Tentunya banyak hal yang positif juga untuk hal lain.” lanjut Fulan A.
Tak lama teman lain menimpali, sebut saja Fulan B, “Twitwar adalah hal yang sudah ada sejak zaman Rasul.”
“Sampai skrg juga masih ada, he he teluh, ada temen doktor pun ada yg mempercayai dan merasa mengalaminya sehingga mencurigai semua orang. Terlepas perang opini.” balas Fulan A.
“Para sahabat juga sudah sejak awal biasa melancarkan psy war atau twitwar dalam menghadapi celaan dari kaum kafir. Yang bahasa pendidikannya dikenal sebagai psywar.” jawab Fulan B.
Fulan A pun mengatakan bahwa perangnya opini. Mencari kemenangan. Bukan kebenaran.
“Twitwar bukan urusan banci atau tidak, tapi Kemampuan dan kemauan seseorang dalam psywar.” ucap Fulan B tak mau berhenti berargumen.
“Itulah yang saya nggak suka dengan kecenderungan politik, sejak masa lampau begitu. Kemenangan adalah panglima, apapun cara dan justifikasinya,” jawab Fulan A.
Diskusi terhenti ketika sang guru mengingatkan, “Azan Isya. hayya ‘alal falaah..”
Twitwar atau perang opini di ranah twitter apakah banci? Sebelum diskusi mendingin seperti di atas sang guru menuliskan kalimat begini: “Let’s focus our own job. Dakwah kita dasarnya cinta. Kebencian balas dg kasih sayang dan santun. Seperti jawaban cantik walkot bdg RK saat dibully Jokowers/Ahokers.”
Jawaban yang bijak. Yup, banci atau tidak, yang pasti mendiamkan sebuah kezaliman adalah kezaliman itu sendiri. (pm)
Sumber: Bersama Dakwah http://bersamadakwah.net/twitwar-itu-banci/
Penulis: @paramuda
0 Response to "Perang di Twitter Itu Banci?"
Post a Comment