Ketekunan Menuntut Ilmu



Oleh Zulfi Akmal

Suatu kali dalam kesempatan kuliah tafsir tahlili dengan Prof. DR. Mani' Abdul Halim Mahmud, ketika saya masih kuliah tamhidi 1 di S2 Al Azhar, salah seorang teman Mesir mengangkat tangan ingin bertanya. Setelah dipersilahkan untuk bicara, ia bertutur:

Wahai duktur, aku ingin curhat. Demi Allah, semalam aku membaca tafsir Al Kasysyaf (Az Zamakhsyary), satu halaman sampai 2 jam. Tapi aku tidak bisa memahaminya. Demi Allah, aku bicara tanpa mubalaghah (hiperbola), betul-betul 2 jam aku baca satu halaman berulang-ulang, tapi tidak ada yang bisa aku pahami dari bacaan itu. Bagaimana ini ya duktur?

Dia menyampaikan pertanyaannya itu juga dengan berulang-ulang sebagaimana gaya orang Mesir, dengan nada yang kedengarannya seperti orang apatis.

Di luar dugaan, DR. Mani' malah menanggapi pertanyaan itu dengan santai saja.Sambil senyum dan ketawa-tawa kecil khas beliau, beliau berkata, "Memang itu yang diinginkan dari mahasiswa pasca sarjana yang akan menjadi seorang bahits (peneliti). Dia baca satu halaman kitab selama 2 jam". Selanjutnya DR. Mani' melanjutkan cerita dengan nostalgia beliau ketika dulu juga menempuh program S 2.

Kelihatan teman Mesir itu agak kesal dengan jawaban beliau. Sambil ngomel bicara tidak karuan ia duduk kembali.

Tapi bagi saya pertanyaan teman Mesir dan jawaban DR. Mani' itu betul-betul suatu hal yang luar biasa. Apa sebab? Karena saya mengalami hal yang persis sama dengan yang ditanyakan teman Mesir itu. Sebelum datang ke kuliah, saya juga sudah membaca kitab Al Kasysyaf selama 2 jam. Tapi satu halaman pun tidak rampung saya pahami.

Rasanya saat itu saya ingin segera keluar dan lari pulang ke rumah untuk mencoba kembali membacanya. Dalam pikiran saya, bagi teman Mesir saja begitu susah untuk memahinya, apalagi bagi saya. Jadi saya tidak mampu memahaminya bukan karena kebodohan, atau kelemahan saya bukan orang Arab, tapi itu hal biasa yang harus ditempuh oleh seorang penuntut ilmu. Proses yang mesti dilalui.

Betul saja, sesampai di rumah saya coba lagi membacanya dengan tenang dan semangat menggebu. Saya sampai memukul –mukul kepala sendiri, kok tadi tidak bisa paham? Ternyata sangat jelas dan mudah untuk dipahami.

Beberapa waktu kemudian saya dengar lagi pernyatan dari Prof. DR. Abdurrahman Ibrahim Khalifah, bahwa tafsir Zamakhsyary itu termasuk tafsir termudah untuk dipahami (Absathut Tafasir). Kalimat itu membuat image sulit di kepala saya semakin sirna.

Dari kejadian itu, paling kurang saya dapat 2 pelajar penting:

1. Sesuatu itu akan menjadi sulit bila di otak kita sudah terpaku kalimat "sulit". Kita sudah memandang berat dulu sebelum menghadapinya. Tapi bila kita hadapi dengan hati tenang dan semangat, ternyata mudah. Tidak sesulit yang dibayangkan.

2. Ilmu itu didapatkan harus dengan pengulangan yang sangat banyak, sampai ia lengket di dalam ingatan dan pemahaman. Seorang pelajar tidak boleh bosan membaca berulang-ulang dan mendengar berkali-kali.

Sudah menjadi fenomena biasa bila kita membaca biografi ulama-ulama klasik, kita akan menemukan cara belajar mereka yang sangat unik dan super tekun. Di antara contohnya:

Imam Al Muzani, murid Imam Syafi'i pernah berkata: "Aku baca kitab Ar Risalah karya Syafi'i 500 kali. Setiap kali aku mengulanginya, aku mendapatkan faedah baru yang belum aku dapatkan sebelumnya".

Abu Ishaq Asy Syirazy berkata: "Aku mengulangis setiap pelajaran 1000 kali".

Imam Ilkiya al Harrasy teman Imam Al Ghazaly menceritakan pengalamannya dalam belajar: "Di sekolah Sarhank di Naisabur terdapat 70 anak tangga menuju sebuah kali. Bila aku ingin menghafal pelajaran aku turun ke kali sambil mengulang pelajaran satu kali setiap anak tangga. Aku lakukan itu ketika naik dan turun. Seperti itu selalu yang aku lakukan setiap kali menghafal sebuah pelajaran".

Ada ratusan, bahkan ribuan kisah lagi yang menceritakan bagaimana cara orang-orang alim dulu belajar. Salah satu inti terpenting mereka belajar adalah dengan banyak mengulang.

Imam Bukhari yang mempunyai kekuatan hafalan yang sangat ajaib pernah ditanya oleh sekretaris beliau Abu Hatim al Warraq tentang, adakah obat yang bisa membantu menguatkan hafalan? Beliau menjawab: "Aku tidak tahu sesuatu yang lebih bermanfaat untuk hafalan selain keinginan yang sangat kuat dan pengulangan penuh ketelitian yang terus menerus".

Jadi, kehebatan hafalan ulama-ulama dulu itu bukanlah datang dari keajaiban, yang lengket secara otomatis seperti hardisk komputer. Tapi mereka mempunyai hafalan yang luar biasa setelah berusaha mengulangnya dengan jumlah yang tidak terbayangkan.

Bisa kita bandingkan, bagaimana dengan diri kita hari ini, yang sudah puas dengan membaca sebuah kitab sebanyak satu kali. Dan merasa bosan untuk mengulanginya kembali. Patutkah kita menisbahkan diri sebagai penuntut ilmu kalau kemauan kita baru segitu?

Ya Allah, tambahkanlah ilmu kami dan karuniakan kami ilmu yang lengket lagi bermanfaat. Ya Allah, ampuni dosa guru, masyayekh, asatidz dan semua orang yang pernah memberikan manfaat ilmu kepada kami.


0 Response to "Ketekunan Menuntut Ilmu"

Post a Comment